Duduk termangu memangku nasib.
Merayuku tuk menjemput mentari.
Bukan maksudku tak mau dirayu.
Hanya kusedang meramu.
Tentang nyata dan tak nyatanya diriku.
Merambah lapuk menuai tepuk.
Namun penaku masilah bertinta hitam.
Walau sudah berkali-kali terbias cahaya.
Hitam itu masih memadat dengan pekat.
Sampai tak pantas diriku dan mereka melihat.
Mentari sedang bersiap-siap.
Sudah mandi dan gosok gigi dengan siwak.
Tuk pamerkan kuasanya pada punggung bumi.
Sang mentari sedang berpamit pada ayahnya.
Agar ia selamat dan tak tersesat diperjalanannya.
Detik berdetak pertanda semakin meretak.
Hitam jaya cakrawala mulai terpecah.
Ufuk timurlah permulaannya.
Semerta-merta terseret dimaghrib nantinya.
Embun masih melapisi lembar daun.
Tertawa riang menghabiskan cerita malam.
Mereka tak menyangka bahwa sebentar lagi kan
terusir.
Aku yang sedang asyik duduk bersila.
Masih tetap bersandar pada nasib bercerita.
Tak pernah tau untuk tujuan langkah berada.
Dan bahkan sejengkal pun tak pernah ada.
Sebatas boneka tercermin bentuk nyata.
Tiada satu hembus nafas pun yang ku sengaja.
Sampai kini senyum mentari menyapa.
Dengan ramah dan tanpa pilih kasih ia menyapa.
Bahkan pada seekor semut pun ia tak lupa.
Guratan dilangit sudah mulai menua.
Cakar mentari mulai menancap luka.
Bumi yang berselimut mulai terjaga.
Persiapkan diri tuk bekerja.
Namun tiada yang mengira.
Sang embun mulai sedih dan terluka.
Sebab terusik dan bahkan terusir dari tempat
tinggalnya.
Oleh tawa mentari yang sedang bergembira.
Selamat pagi ya.......
Tidak ada komentar :
Posting Komentar