Puncak ilmu adalah filsafat, dan puncak seni adalah puisi. Begitu
kira-kira pandangan banyak orang. Orang yang tidak bisa menikmati puisi boleh
dibilang tidak “lengkap” sebagai manusia. Orang yang tidak dapat menikmati
puisi tampaknya akan sulit disentuh hatinya. Padahal hati ini adalah salah tiga
alat kelengkapan diri selain akal dan syahwat. Tidak semua persoalan hidup
dapat dipecahkan lewat akal dan rasionalitas, karena tubuh seseorang terdiri
atas jasmani dan rohani.Jangankan “makanan” rohani, sedangkan untuk kebutuhan
jasmaniah saja tidak setiap orang memiliki kecerdasan yang sama dalam memilih
makanan yang sehat dan enak, serta dalam takaran yang pas. Ada orang yang tidak
peduli kalau tiap hari nekad memakan daging babi, atau makan jerohan — misalnya
— karena ia berpandangan: “hidup itu sekali, maka harus dinikmati”.Demikian
rohani harus diberi “gizi” yang memadai agar keseimbangan hidup itu terjaga.
Puisi adalah salah satu makanan rohani yang berdampak terhadap kesehatan
jasmani. Hanya orang yang sudah sublim dan memiliki endapan rohani tertentu
yang sanggup membuat puisi dengan “takaran” tertentu yang (juga) dapat
menggugah kesadaran rohani seseorang. Karena puisi dibuat dengan takaran rohani
tertentu, maka hanya orang yang sudah siap rohaninya saja yang dapat disentuh
hatinya.Saya sering iseng-iseng mengamati, seorang pemimpin atau pejabat yang
tidak memiliki jiwa seni, tampaknya ia akan sulit mengekspresikan jiwa
kepemimpinannya, sekalipun ia cerdas secara keilmuan dunia. Ia akan sulit
menggetarkan pengikut atau rakyatnya untuk diajak membangun daerahnya —
misalnya.Seorang pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, juga akan “wagu”, tidak
saja ketika berpidato, tapi juga “wagu” produk-produk kebijakannya. Ia bagai
robot yang cerdas, namun tidak memiliki hati, sehingga tidak indah dipandang.
Melalui puisi tampaknya akan lebih mudah menyentuh hati ini, karena makanan
hati bukannya rasionalitas, namun kelembutan dan keindahan. Puisi adalah
sublimasi dari keindahan. Sekasar apapun watak seseorang, jika ia sudah
tersentuh hatinya maka ia akan takluk, bahkan menangis.Karenanya, Allah SWT
lebih suka memperkenalkan watak-Nya dengan bahasa keindahan. Lihat dan bacalah
maka akan jelas bahwa firman-Nya juga “dikemas” dalam bentuk puisi. Al Quran
adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga
gabungan dengan baik dan benar. Mengapa Allah harus berpuisi? Jawabnya
barangkali Allah akan bertindak “konsekuen” setelah menciptakan unsur manusia
yang terdiri jasmani dan rohani, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah
mengajari bahwa untuk mengajak kepada kebaikan harus melalui keindahan. Barang
yang baik, jika tidak disampaikan demgan keindahan, maka tidak akan menyentuh
hati. Sebaliknya barang yang indah jika tidak disampaikan dengan baik dan benar
maka itu tidak akan sampai kepada tujuannya.Perdebatan apakah seni hanya untuk
seni atau seni untuk kemaslahatan seperti ini tampaknya sudah lama terjadi,
misalnya dilakukan oleh para sastrawan Pujangga Baru yang dimotori oleh Sutan
Takdir Alsjahbana. Tentunya perdebatan ini tidak akan terjadi jika mereka
“berguru” kepada Allah.Karena orang umumnya tidak melakukan itu maka yang
muncul adalah kontradiksi-kontradiksi. Kleden (1986) misalnya pernah
mengungkapkan bahwa masalah kebudayaan (juga kesenian) dihayati dengan cita
rasa yang berbeda oleh mereka yang memiliki kepentingan.Tentu perbedaan
pandangan dipengaruhi oleh beberapa hal, selain aksentuasi dan variasi, juga
lebih jauh melibatkan perbedaan logika, baik menyangkut kerangka konseptual
maupun yang menyangkut dengan minat masing-masing. Karenanya kita dapat
memahami jika kata kunci seorang seniman dalam memahami kebudayaan (kesenian)
adalah: daya cipta.Ini berarti bagi seorang seniman, kebudayaan adalah sebuah
kata kerja. Mereka adalah orang-orang yang resah yang ingin mengepakkan sayap
imajinasinya untuk diekspresikan dalam sebuah karya seni. Para seniman bekerja
secara bebas dan tidak terkekang oleh konvensi ilmiah yang kaku, seperti halnya
para ilmuwan dengan kerja desain yang rumit.Kembali kepada rumus: baik, indah,
dan benar, maka kita dapat memahami jika — misalnya — seorang Rendra harus
dibenci penguasa “hanya” karena ia berkesenian? Kebencian ini muncul karena
meski karya Rendra indah, namun menurut penguasa tidak disampaikan dengan cara
yang “baik” dan “benar”. Baik dan benar bagi penguasa adalah bahwa berkesenian
itu harus reasonable (dan karenanya tidak menimbulkan kontradiksi) serta
acceptable (dan karenanya tidak menimbulkan resistensi, apalagi oposisi).
Dengan kata lain, legitimasi politik penting artinya bagi penguasa untuk
dikawinkan dengan legitimasi budaya.Karena dapat dipahami jika kata kunci
penguasa adalah kata-kata “warisan budaya”. Dalam kacamata politik, penguasa
akan selalu mendesain kebudayaan ke dalam kerangka politiknya. Lihat saja
berbagai pelarangan karya sastra telah menelan korban, baik terbelenggunya
kebebasan bahkan sampai nyawa sang seniman, jika berhadapan dengan penguasa
otoriter. Pada masa lalu untuk sekadar mementaskan sebuah drama, urusannya bisa
sangat panjang. Perizinan mulai dari tingkat RT sampai kantor polisi dan
badan-badan sensor lainnya.Dalam pandangan Rendra, persoalannya adalah
bagaimana konflik (antara penguasa dan seniman) itu ditransformasikan menjadi
kompetisi dan bukan antagonisme. Konflik mestinya diterjemahkan menjadi
diplomasi dan bukan memaklumkan “perang”. Artinya jauh lebih efektif
membuktikan rendahnya mutu sebuah karya sastra dengan sebuah perdebatan
“ilmiah” daripada harus melarangnya dengan kekuatan politik yang sarat dengan
kekerasan.Bagi seniman karya sastra bukan saja merupakan media untuk
mengekspresikan keindahan, namun juga merupakan media untuk menyuarakan
kebenaran dan memperjuangkan nasib rakyat. Untuk sampai ke tataran ini memang
ada mekanisme panjang kata Cak Nun (Baca : Indonesia bagian Penting dari Desa
Saya, 1983). Pertama mekanisme penciptaan karya sastra, kedua mekanisme
pergaulan antara karya sastra yang dihasilkan tersebut dengan masyarakat dan
ketiga pergaulan antara seniman dengan masyarakat (termasuk penguasa).Dalam
bahasa lain dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia berbudaya mencakup tiga
ruang lingkup, yakni : lingkup lingkungan material (lingkungan buatan manusia),
lingkup lingkungan sosial (organisasi sosial, birokrasi, kekuasaan, gaya hidup,
dst), serta lingkup simbolik (makna, kata, tingkah laku, bahasa,dst). Idealnya
antara lingkungan material dan simbolik (kultur), harus sinergi dengan
lingkungan masyarakat (kultur).Soal seni yang disampaikan dengan mengabaikan
salah satu unsur: indah, baik dan benar, juga terjadi pada misalnya kisah
seorang “seniman” jalanan di Kota Solo yang bernama Maryanto. Ia adalah seorang
pemain “jaran dor” (kuda lumping) yang sempat diadili karena dianggap
mengekploitasi anak di bawah umur untuk bekerja. Maryanto, baru berusia 27
tahun, dan ia mengajak anak usia 10 tahun untuk “ngamen” (bahasa kerennya
mengekspresikan seni) sebagai pemain “kuda lumping”, guna mencari sesuap
nasi.Sehari-hari ia hanya mendapatkan uang sekadar untuk makan. Karenanya,
sebagai orang yang buta hukum, Maryanto tidak paham apa artinya mengeksploitasi
anak di bawah umur untuk membantu bekerja. Maryanto barangkali juga tidak
berpikir jauh, misalnya mengapa orang tua Baim, tokoh sinetron anak-anak, tidak
pernah diusik oleh pengadilan. Padahal kata orang tuanya, Baim yang masih
berusia di bawah lima tahun, sering shooting sampai larut malam.Demikian pula
penyanyi-penyanyi cilik semacam Joshua, Trio Kwek-kwek, Pildacil, dst, juga
tidak pernah tersentuh oleh aturan hukum seperti yang dialami Maryanto. Apakah
bedanya antara Maryanto dengan orang tua Baim misalnya? Sepenggal kisah
tersebut cukup menggambarkan sebuah konflik yang tidak dihayati dalam cita rasa
yang sama diantara para pelaku kesenian dan kekuasaan.Sekali lagi mengapa
mereka tidak mau berguru kepada Tuhan? Kurang apa kekuasaan Allah? Mengapa
Allah tidak otoriter saja, dan mengapa harus berfirman dengan nada puitis?
Mengapa tidak saja langsung mengancam: “aku larang keras manusia berzina”, tapi
mengapa harus dengan nada mesra “jangan dekati zina”, misalnya? Bukankah Allah
memiliki kebebasan mutlak untuk memerintahkan apa saja? Bukankah Allah juga
bisa otoriter sehingga yang tidak taat langsung saja dihukum di dunia? Sekali
lagi Allah tidak melakukan-Nya. Allah memilih untuk bermesra-mesraan dengan
makhluk ciptaan-Nya, dengan jalan “berpuisi-ria” dengan segala firman-Nya.Allah
sangat “paham” berapa “takaran” yang pas, dimana ayat-ayat itu diturunkan.
Allah juga paham bagaimana bentuk kemesraan-Nya jika berhadapan dengan model
watak kaum tertentu. Allah juga sangat paham kapan dan di mana ayat-ayat
diturunkan, sehingga ayat-ayat itu harus bernada puitis dan pendek, serta di
lain pihak juga sangat tahu kapan kemesraaan-Nya harus disampaikan dengan
nada-nada “ancaman”, misalnya?Kalau Allah saja “maha seniman”, mengapa manusia
tidak meniru ajaran-Nya ini? Mengapa dalam memanajemen negara (misalnya),
malahan amburadul, sudah caranya disampaikan tidak saja buruk, namun juga tidak
benar plus tidak indah.Betapa meruginya manusia yang tidak bisa mengekspresikan
kekhalifahannya dalam takaran keseimbangan: baik, benar, dan indah, serta tidak
tahu bagaimana kapan harus menggunakan akal, kapan harus hati, dan kapan
memadukan keduanya untuk menekan syahwatnya (baca: nafsu dalam berbagai bidang
kehidupan).
Puncak ilmu adalah filsafat, dan puncak seni adalah puisi. Begitu
kira-kira pandangan banyak orang. Orang yang tidak bisa menikmati puisi boleh
dibilang tidak “lengkap” sebagai manusia. Orang yang tidak dapat menikmati
puisi tampaknya akan sulit disentuh hatinya. Padahal hati ini adalah salah tiga
alat kelengkapan diri selain akal dan syahwat. Tidak semua persoalan hidup
dapat dipecahkan lewat akal dan rasionalitas, karena tubuh seseorang terdiri
atas jasmani dan rohani.Jangankan “makanan” rohani, sedangkan untuk kebutuhan
jasmaniah saja tidak setiap orang memiliki kecerdasan yang sama dalam memilih
makanan yang sehat dan enak, serta dalam takaran yang pas. Ada orang yang tidak
peduli kalau tiap hari nekad memakan daging babi, atau makan jerohan — misalnya
— karena ia berpandangan: “hidup itu sekali, maka harus dinikmati”.Demikian
rohani harus diberi “gizi” yang memadai agar keseimbangan hidup itu terjaga.
Puisi adalah salah satu makanan rohani yang berdampak terhadap kesehatan
jasmani. Hanya orang yang sudah sublim dan memiliki endapan rohani tertentu
yang sanggup membuat puisi dengan “takaran” tertentu yang (juga) dapat
menggugah kesadaran rohani seseorang. Karena puisi dibuat dengan takaran rohani
tertentu, maka hanya orang yang sudah siap rohaninya saja yang dapat disentuh
hatinya.Saya sering iseng-iseng mengamati, seorang pemimpin atau pejabat yang
tidak memiliki jiwa seni, tampaknya ia akan sulit mengekspresikan jiwa
kepemimpinannya, sekalipun ia cerdas secara keilmuan dunia. Ia akan sulit
menggetarkan pengikut atau rakyatnya untuk diajak membangun daerahnya —
misalnya.Seorang pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, juga akan “wagu”, tidak
saja ketika berpidato, tapi juga “wagu” produk-produk kebijakannya. Ia bagai
robot yang cerdas, namun tidak memiliki hati, sehingga tidak indah dipandang.
Melalui puisi tampaknya akan lebih mudah menyentuh hati ini, karena makanan
hati bukannya rasionalitas, namun kelembutan dan keindahan. Puisi adalah
sublimasi dari keindahan. Sekasar apapun watak seseorang, jika ia sudah
tersentuh hatinya maka ia akan takluk, bahkan menangis.Karenanya, Allah SWT
lebih suka memperkenalkan watak-Nya dengan bahasa keindahan. Lihat dan bacalah
maka akan jelas bahwa firman-Nya juga “dikemas” dalam bentuk puisi. Al Quran
adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga
gabungan dengan baik dan benar. Mengapa Allah harus berpuisi? Jawabnya
barangkali Allah akan bertindak “konsekuen” setelah menciptakan unsur manusia
yang terdiri jasmani dan rohani, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah
mengajari bahwa untuk mengajak kepada kebaikan harus melalui keindahan. Barang
yang baik, jika tidak disampaikan demgan keindahan, maka tidak akan menyentuh
hati. Sebaliknya barang yang indah jika tidak disampaikan dengan baik dan benar
maka itu tidak akan sampai kepada tujuannya.Perdebatan apakah seni hanya untuk
seni atau seni untuk kemaslahatan seperti ini tampaknya sudah lama terjadi,
misalnya dilakukan oleh para sastrawan Pujangga Baru yang dimotori oleh Sutan
Takdir Alsjahbana. Tentunya perdebatan ini tidak akan terjadi jika mereka
“berguru” kepada Allah.Karena orang umumnya tidak melakukan itu maka yang
muncul adalah kontradiksi-kontradiksi. Kleden (1986) misalnya pernah
mengungkapkan bahwa masalah kebudayaan (juga kesenian) dihayati dengan cita
rasa yang berbeda oleh mereka yang memiliki kepentingan.Tentu perbedaan
pandangan dipengaruhi oleh beberapa hal, selain aksentuasi dan variasi, juga
lebih jauh melibatkan perbedaan logika, baik menyangkut kerangka konseptual
maupun yang menyangkut dengan minat masing-masing. Karenanya kita dapat
memahami jika kata kunci seorang seniman dalam memahami kebudayaan (kesenian)
adalah: daya cipta.Ini berarti bagi seorang seniman, kebudayaan adalah sebuah
kata kerja. Mereka adalah orang-orang yang resah yang ingin mengepakkan sayap
imajinasinya untuk diekspresikan dalam sebuah karya seni. Para seniman bekerja
secara bebas dan tidak terkekang oleh konvensi ilmiah yang kaku, seperti halnya
para ilmuwan dengan kerja desain yang rumit.Kembali kepada rumus: baik, indah,
dan benar, maka kita dapat memahami jika — misalnya — seorang Rendra harus
dibenci penguasa “hanya” karena ia berkesenian? Kebencian ini muncul karena
meski karya Rendra indah, namun menurut penguasa tidak disampaikan dengan cara
yang “baik” dan “benar”. Baik dan benar bagi penguasa adalah bahwa berkesenian
itu harus reasonable (dan karenanya tidak menimbulkan kontradiksi) serta
acceptable (dan karenanya tidak menimbulkan resistensi, apalagi oposisi).
Dengan kata lain, legitimasi politik penting artinya bagi penguasa untuk
dikawinkan dengan legitimasi budaya.Karena dapat dipahami jika kata kunci
penguasa adalah kata-kata “warisan budaya”. Dalam kacamata politik, penguasa
akan selalu mendesain kebudayaan ke dalam kerangka politiknya. Lihat saja
berbagai pelarangan karya sastra telah menelan korban, baik terbelenggunya
kebebasan bahkan sampai nyawa sang seniman, jika berhadapan dengan penguasa
otoriter. Pada masa lalu untuk sekadar mementaskan sebuah drama, urusannya bisa
sangat panjang. Perizinan mulai dari tingkat RT sampai kantor polisi dan
badan-badan sensor lainnya.Dalam pandangan Rendra, persoalannya adalah
bagaimana konflik (antara penguasa dan seniman) itu ditransformasikan menjadi
kompetisi dan bukan antagonisme. Konflik mestinya diterjemahkan menjadi
diplomasi dan bukan memaklumkan “perang”. Artinya jauh lebih efektif
membuktikan rendahnya mutu sebuah karya sastra dengan sebuah perdebatan
“ilmiah” daripada harus melarangnya dengan kekuatan politik yang sarat dengan
kekerasan.Bagi seniman karya sastra bukan saja merupakan media untuk
mengekspresikan keindahan, namun juga merupakan media untuk menyuarakan
kebenaran dan memperjuangkan nasib rakyat. Untuk sampai ke tataran ini memang
ada mekanisme panjang kata Cak Nun (Baca : Indonesia bagian Penting dari Desa
Saya, 1983). Pertama mekanisme penciptaan karya sastra, kedua mekanisme
pergaulan antara karya sastra yang dihasilkan tersebut dengan masyarakat dan
ketiga pergaulan antara seniman dengan masyarakat (termasuk penguasa).Dalam
bahasa lain dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia berbudaya mencakup tiga
ruang lingkup, yakni : lingkup lingkungan material (lingkungan buatan manusia),
lingkup lingkungan sosial (organisasi sosial, birokrasi, kekuasaan, gaya hidup,
dst), serta lingkup simbolik (makna, kata, tingkah laku, bahasa,dst). Idealnya
antara lingkungan material dan simbolik (kultur), harus sinergi dengan
lingkungan masyarakat (kultur).Soal seni yang disampaikan dengan mengabaikan
salah satu unsur: indah, baik dan benar, juga terjadi pada misalnya kisah
seorang “seniman” jalanan di Kota Solo yang bernama Maryanto. Ia adalah seorang
pemain “jaran dor” (kuda lumping) yang sempat diadili karena dianggap
mengekploitasi anak di bawah umur untuk bekerja. Maryanto, baru berusia 27
tahun, dan ia mengajak anak usia 10 tahun untuk “ngamen” (bahasa kerennya
mengekspresikan seni) sebagai pemain “kuda lumping”, guna mencari sesuap
nasi.Sehari-hari ia hanya mendapatkan uang sekadar untuk makan. Karenanya,
sebagai orang yang buta hukum, Maryanto tidak paham apa artinya mengeksploitasi
anak di bawah umur untuk membantu bekerja. Maryanto barangkali juga tidak
berpikir jauh, misalnya mengapa orang tua Baim, tokoh sinetron anak-anak, tidak
pernah diusik oleh pengadilan. Padahal kata orang tuanya, Baim yang masih
berusia di bawah lima tahun, sering shooting sampai larut malam.Demikian pula
penyanyi-penyanyi cilik semacam Joshua, Trio Kwek-kwek, Pildacil, dst, juga
tidak pernah tersentuh oleh aturan hukum seperti yang dialami Maryanto. Apakah
bedanya antara Maryanto dengan orang tua Baim misalnya? Sepenggal kisah
tersebut cukup menggambarkan sebuah konflik yang tidak dihayati dalam cita rasa
yang sama diantara para pelaku kesenian dan kekuasaan.Sekali lagi mengapa
mereka tidak mau berguru kepada Tuhan? Kurang apa kekuasaan Allah? Mengapa
Allah tidak otoriter saja, dan mengapa harus berfirman dengan nada puitis?
Mengapa tidak saja langsung mengancam: “aku larang keras manusia berzina”, tapi
mengapa harus dengan nada mesra “jangan dekati zina”, misalnya? Bukankah Allah
memiliki kebebasan mutlak untuk memerintahkan apa saja? Bukankah Allah juga
bisa otoriter sehingga yang tidak taat langsung saja dihukum di dunia? Sekali
lagi Allah tidak melakukan-Nya. Allah memilih untuk bermesra-mesraan dengan
makhluk ciptaan-Nya, dengan jalan “berpuisi-ria” dengan segala firman-Nya.Allah
sangat “paham” berapa “takaran” yang pas, dimana ayat-ayat itu diturunkan.
Allah juga paham bagaimana bentuk kemesraan-Nya jika berhadapan dengan model
watak kaum tertentu. Allah juga sangat paham kapan dan di mana ayat-ayat
diturunkan, sehingga ayat-ayat itu harus bernada puitis dan pendek, serta di
lain pihak juga sangat tahu kapan kemesraaan-Nya harus disampaikan dengan
nada-nada “ancaman”, misalnya?Kalau Allah saja “maha seniman”, mengapa manusia
tidak meniru ajaran-Nya ini? Mengapa dalam memanajemen negara (misalnya),
malahan amburadul, sudah caranya disampaikan tidak saja buruk, namun juga tidak
benar plus tidak indah.Betapa meruginya manusia yang tidak bisa mengekspresikan
kekhalifahannya dalam takaran keseimbangan: baik, benar, dan indah, serta tidak
tahu bagaimana kapan harus menggunakan akal, kapan harus hati, dan kapan
memadukan keduanya untuk menekan syahwatnya (baca: nafsu dalam berbagai bidang
kehidupan).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar