SEJARAH PESAREHAN GUNUNG KAWI
Kronologi
sejarah wisata ritual Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah
Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Banyak pengikutnya dan
pendukungnya yang melarikan diri ke arah bagian timur pulau Jawa yaitu
Jawa Timur. Di antaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro
yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria. Beliau pergi ke berbagai
daerah di antaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi ke arah Timur
Selatan (Tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.
Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun
Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirakan
beliau sampai di Dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun
Djoego ditemani sesepuh Desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau
berdiam di dusun Djoego Desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun
1840-1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau
yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman
Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran
Diponegoro yang ikut melarikan diri ke daerah timur pulau jawa yaitu
Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru
dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben, Kabupaten Blitar
tepatnya didusun Djoego Desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego atau
Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk
membantu Eyang Djoego dalam mengelola Padepokan Djoego.
Pada
waktu itu Padepokan Djoego telah berkembang, banyak pengunjung menjadi
murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian ± tahun 1850-1860,
datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari
Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki
Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian
diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk
membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi. Kanjeng Eyang Djoego berpesan
bahwa di tempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan
(dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan
menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).
Dengan
demikian maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono bersama Ki Moeridun
disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, di antaranya
: Mbah Suro Wates, Mbah Kaji Dulsalam (Birowo), Mbah Saiupan
(Nyawangan), Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang), Mbah Suryo Ngalam
Tambak Segoro, Mbah Tugu Drono, Ki Kromorejo, Ki Kromosari, Ki Haji
Mustofa, Ki Haji Mustoha, Mbah Dawud, Mbah Belo, Mbah Wonosari, Den
Suryo, Mbah Tasiman, Mbah Tundonegoro, Mbah Bantinegoro, Mbah Sainem,
Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina), Mbah Cakar Buwono, Mbah
Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC). Maka berangkatlah
R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka
“Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta
tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai
penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin
rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari.
Setelah
segala kebutuhan pembekalan lengkap maka, berangkatlah rombongan itu
untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pimpinan
Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan
beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu
yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian tempat
itu dinamakan Tumpang Rejo. Setelah itu perjalanan diteruskan ke arah
utara. Di sebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo
(sebangsa pohon Gondang), mereka berhenti dan membuat Pawon (perapian).
Lama-kelamaan menjadi menjadi sebuah dusun yang dinamakan Lopawon.
Kemudian mereka melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai ke
sebuah hutan dan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk
merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, sehingga lama-kelamaan
dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan ke arah
barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian
melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar
dengan pohon nangka. Kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan
sekarang disebut dengan hutan Blongko. Selesai makan bekal perjalanan
dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang
puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk
beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan,
tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah
pohon kelapa. Anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan
yang satunya tumbuh doyong/tidak tegak ke atas, sehingga tempat itu
dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian,
setelah mendapatkan tempat istirahat (darung) pembabatan hutan
diteruskan ke arah selatan sampai di daerah tugu (sekarang merupakan
tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan
diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian
naik keutara sampai sungai yang sekarang ini dinamakan Kali Gedong,
lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari.
Selesai
semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan,
di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh
anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu.
Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari, kemudian
disepakati nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari. Karena
pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka
diutuslah salah satu pendereknya (pengikut) untuk pulang ke dusun
Djoego, Desa Sanan Kesamben, untuk melapor kepada Eyang Djoego bahwa
pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan.
Setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka
berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan
Gunung Kawi yang baru selesai.
Untuk
memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap
di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke Dusun Djoego dan
juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan
(kramatkan) di sebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah
Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari
yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur
yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya
masjid Agung Iman Soedjono). Tokoh-tokoh yang menetap di dusun Wonosari
diantaranya ialah : Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, Ki Moeridun, Mbah
Bantu Negoro, Mbah Tuhu Drono, Mbah Kromo Rejo, Mbah Kromo Sasi, Mbah
Sainem, Kyai Haji Mustofa, Kyai Haji Muntoha, Mbah Belo, Mbah Sifat /
TjanThian, Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa.
Demikian
di antaranya yang tinggal di Dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain
ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben,
Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering melakukan
perjalanan bolak-balik dari dusun Djoego–Sanan–Kesamben ke Dusun
Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya wejangan dan
petunjuknya yang berada di Wonosari Gunung Kawi.
Pada
hari Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M, Kanjeng Eyang Djoego
wafat. Jenasahnya dibawa dari Dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari
Gunung Kawi, untuk dimakamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk
(bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung Kawi, kemudian tiba di Gunung
Kawi pada hari Rabu Wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari
Kamis Kliwon pagi.
Sejak
meninggalnya Kanjeng Eyang Djoego, Dusun Wonosari menjadi banyak
pengunjung, dan banyak pula para pendatang yang menetap di Dusun
Wonosari. Dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat
hutan (membuka lahan di hutan). Oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahkan
ke barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan
Kapurono yang dipimpin oleh : Mbah Kasan Sengut (daerah asal
Bhangelan),Mbah Kasan Mubarot (tetap menetap di babatan Kapurono), Mbah
Kasan Murdot (ikut Mbah Kasan Sengut),Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah
Kasan Sengut).
Rombongan
itu juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari
Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari
Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta
teman-temannya.
Dengan
demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak
pula. Dengan bertambah luasnya dusun dan bertambah banyaknya jumlah
penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yang
bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih
baru itu. Maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman
Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah
Warsiman merupakan pamong pertama dari Dusun Wonosari.
Pada
masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-1876, datang
seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller (seorang
putri Residen Kediri) datang ke Wonosari Gunung Kawi untuk berobat
kepada Eyang R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak
pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari dan mengabdi pada Eyang
R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876. Setelah
sepeninggal Eyang R.M. Iman Soedjono, Ny Schuller kemudian pulang ke
Kediri.
Pada
tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam)
untuk berziarah di Gunung Kawi. Pek Yam merasa tenang hidup di Gunung
Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi
kepada Kanjeng Eyang (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara
membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat. Pek Yam
pada waktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan
juga ada seorang dari Singapura. Setelah jalan itu jadi, kemudian
dilengkapi dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan
sarehan. Pada
hari Rabu Kliwon tahun 1876 Masehi, Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di
Gumuk Gajah Mungkur. Sejak meninggalnya Eyang R.M. Iman Soejono, Dusun
Wonosari bertambah ramai.
Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Suharto mengisahkan bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang.
Suharto mengaku mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih kecil. Tamyang ini biasa datang ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.
Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo. Nauzubillah Minzalik.
BaNi MusTajaB
Pesugihan Gunung kawi (Sejarah Gunung Kawi)
Dalam Kronologi sejarah wisata ritual gunung kawi
ini di mulai pada tahun 1830 setelah Pangeran diponegoro menyerah pada
Belanda. Pada saat itu pengikut pangeran Diponegoro banyak yang
melarikan diri dari arah bagian timur pulau jawa yaitu jawa timur, di
antara eyang djoego atau kyai zakaria. mereka ke pergi ke
berbagai daerah seperti Pati, begelan, Tuban, Kepanjen, kabupaten
Malang.
Pada hari senin pahing tgl satu selo thn1817 M kanjeng eyang Djoego
wafat dan jenazahnya di bawa dari dusun djeogo kesemben ke dusun
wonosari gunung kawi untuk di makamkan di bukit gumukGajah mungkur di
selatan gunung kawi.
Jasadnya sampai di gunung kawi pada hari rabu wage malam dan di makamkan hari kamis kliwon pagi.
dan pada saat itu juga di adakan selamatan dan sesaji yang di ikuti
penduduk setempat tepatnya hari senin pahing bulan selo ( bulan jawa ke
sebelas) kegiatan ini sampai sekarang di kenal dengan nama Barikan.
Antara tahun 1817- 1876 M datang seorang wanita berkebangsaan Belanda
yang bernama Scuhuller ( seorang putri residen kediri) untuk berobat ke
R.M Imam Soedjono setelah sembuh Scuhuller tidak pulang ke Kediri namun
menetap dan memngabdi sampai wafat tahun 1817 M.
R.M Soedjono sendiri wafat pada hari rabu kliwon tahun 1817M dan di makamkan berjajar dengan Mbah Djoego di gumuk Gajah mungkur.
Daun Dewandaru
Menjadi kaya berarti harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak
kejatuhan daun dewandaru, maka Anda tidak akan pernah menjadi kaya.
Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.
Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.
Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.
Kisah Singkat Daun Dewandaru
Meskipun demikian, saya pun mendapat cerita menarik seputar daun dewandaru ini. Seorang kerabat saya bercerita seputar keunikan kisah daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita ini dari ayah saya. Kisah tentang daun dewandaru yang membuat seorang perempuan menjadi kaya raya,” kata Dipo.
Dipo menceritakan bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir tahun 1960-an), memiliki seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong kaya. Keakraban Sang Ayah dengan temannya itu (sebut saja: Sugih) membuatnya sering bermain ke rumah Sugih.
Orang tua Sugih terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal persawahan yang luas, penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu. Padahal, pada masa itu masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi yang memprihatinkan.
Suatu ketika, Sang Ayah berkunjung ke rumah Sugih dan bermain seperti biasanya. Ketika itu, orangtua Sugih berada di rumah dan sedang berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya mendengar ibunda Sugih berbicara tentang daun dewandaru. Inilah yang membuat ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan semua cerita ibunda Sugih,” kata Dipo.
Dikisahkan, ibunda Sugih hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Suaminya hanya petani biasa, sama seperti masyarakat lain di desanya. Karena itulah, perempuan ini pun pergi ke Gunung Kawi untuk mengadu peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan semata-mata demi meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana terjadi pada masa sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Sugih pun pergi ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi. Bagian penting dari ritual itu adalah tirakat di bawah pohon dewandaru. Ibunda Sugih tidak sendirian berada di bawah pohon itu. Ada banyak peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama duduk di bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.
Entah doa apa yang dibaca Ibunda Sugih di bawah pohon keramat itu. Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar daun dewandaru yang jatuh ke pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah orang yang berada di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di pundak Ibunda Sugih.
Mereka pun berteriak,” Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka mendekati Ibunda Sugih dan berupaya merebut daun dewandaru itu. Beberapa orang, kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian Ibunda Sugih untuk mendapatkannya.
Ibunda Sugih hanya bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba tubuhnya, membuka BH secara kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan membuka celana dalamnya hingga nyaris telanjang bulat, seolah hendak diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di tubuh Ibunda Sugih. Mereka pun mencari-cari di tanah di tempat Ibunda Sugih duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda Sugih pulang ke rumahnya di Blitar sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan mendapat perlakuan tidak senonoh dari para peziarah lain yang juga sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya dirinya menerima perlakuan semacam ini.
Lantas dimana daun dewandaru itu?
Inilah yang tidak diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah, Ibunda Sugih masuk ke dalam kamar dan membuka celana dalamnya. Lalu dia mengambil daun dewandaru itu dari dalam vaginanya.
Rupanya, sesaat setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya, seketika Ibunda Sugih mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke dalam liang vaginanya.
Itulah sebabnya tidak seorang pun para pria rakus itu menyadarinya. Padahal, para pria jahanam itu sudah berhasil menelanjanginya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar