Pengkaderan Tunas Muda NU Yang
Mengkhawatirkan (Sebuah Usulan Untuk Muktamar NU)
Februari 2010 00:38:20 | Share 16
Muktamar NU yang akan berlangsung Maret 2010 sudah mulai
meramaikan media massa. Sayangnya wacana yang beredar hanya sekitar persoalan
kandidat ketua umum PBNU. Jarang yang mengangkat wacana seputar pengkaderan
tunas muda NU yang semakin mengkhawatirkan.
Seputar pengkaderan NU, pernah timbul polemik antara di
website resmi NU Online antara Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dengan Ketua
Umum PB PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) M. Rodli Kaelani. Ketika
membuka Kongres IPNU-IPPNU yang tengah berlangsung di Pesantren Al Hikmah
Brebes, KH Hasyim Muzadi mengeluhkan peranan PMII yang melupakan pengkaderan NU
di sektor mahasiswa karena terlalu aktif berpolitik di luar kampus dan bahkan
sebagian aktivis PMII terpengaruh paham liberalisme agama. Hasyim menyarankan
agar IPNU-IPPNU juga turut memperhatikan pengkaderan mahasiswa tanpa melupakan
pengkaderan pelajar dan santri.
Rodli Kaelani pun membantah sinyalemen Hasyim bahwa PMII
melupakan pengkaderan NU di sektor mahasiswa. Menurutnya PMII tidak pernah
melupakan “raison d’etre”-nya sebagai organisasi mahasiswa sayap NU walaupun
telah independen secara struktural dari NU.
Polemik di atas pun hanyalah bagaikan fenomena “gunung
es” dari sekian banyak problematika di NU, ormas Islam terbesar di Indonesia
dan dunia yang kini makin tidak “marketable” setelah outlet-outlet politiknya
seperti PKB dan PKNU hancur lebur dalam Pemilu 2009.
NU kini tidak bisa lagi membanggakan “outlet” politiknya
seperti PKB yang hanya meraih 4,9% suara. Namun, untuk kembali pada khittahnya
sebagai pemilik “outlet” sosial-keagamaan-pendidikan, NU juga tidak percaya
diri. Masyarakat dan pasar lebih mengenal Aa Gym, Ustadz Jeffry dan dai TV
lainnya sebagai tokoh-tokoh yang punya “outlet” agama daripada tokoh-tokoh NU.
Sementara itu “outlet” pendidikan NU seperti pesantren pun tidak lagi populer.
Masyarakat lebih memilih antre mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah negeri,
sekolah-sekolah internasional dan sekolah swasta favorit.
Ketika “outlet” dan “produk” politik yang dikeluarkan NU
tidak diterima pasar (Baca: tidak laku dijual), mungkin ada baiknya kita
melihat apakah para “sales”, “manajer” dan “desainer” yang selama ini merancang
“produk”, menjaga “outlet” dan memasarkan “produk” politik keluaran NU sudah
menjalankan kinerjanya dengan optimal ataukah memang para desainer, manajer dan
sales itu tidak kompeten?
Tidak hanya di politik, banyak kader muda NU yang tidak
kompeten di berbagai sector utamanya bisnis dan birokrasi.. NU –melalui IPNU
dan PMII- harus bergerilya di sekolah, pesantren dan kampus untuk mencari “elit
breeds” (bibit unggul) yang kompetem. Oleh karena itu, IPNU dan PMII harus
benar-benar fokus dalam perannya sebagai ujung tombak pengkaderan NU.
Bila IPNU dan PMII berperan sebagai “talent scouting”
(pencari bakat), maka IPNU dan PMII perlu sadar bahwa mereka harus fokus dalam
target dan sasaran ketika merekrut para pelajar dan mahasiswa. Implementasi
teknisnya, IPNU dan PMII perlu fokus dalam menyasar sekolah, pesantren dan
kampus yang menjadi sasaran perekrutan anggota.
Road Map Pengkaderan IPNU-IPPNU dan PMII
Pertama, untuk merekrut anggota dari pesantren/madrasah,
IPNU harus menentukan pesantren/madrasah yang potensial. Pengertian potensial
di sini adalah ratio santri yang melanjutkan kuliah dengan keseluruhan santri.
Bila pesantren/ madrasah tersebut ratio santri yang kuliahnya rendah maka
pesantren/madrasah tersebut jelas bukan sasaran utama. Mengapa? Karena, bila
santri tersebut tidak melanjutkan kuliah –karena keterbatasan finansial atau
akademis- maka santri tersebut tidak bisa dikembangkan potensinya untuk menjadi
kader karena selulus pesantren/madrasah ia akan lebih fokus mencari kerja atau
berwirausaha.
Kedua, untuk merekrut anggota dari sekolah, IPNU juga
harus menentukan sekolah yang potensial. SMA-SMA negeri di kota-kota besar
haruslah menjadi target IPNU. Mengapa SMA negeri? Karena –lagi-lagi- ratio
pelajar SMA negeri yang melanjutkan kuliah cukup tinggi dan bahkan lulusan SMA
negeri mampu diterima di PTN favorit. Misalnya, para pelajar SMA 8 Jakarta
bagaikan “naik kelas” saja di UI. Begitu pula dengan SMA 3 Bandung yang “naik
kelas” di ITB dan SMA 1 Yogyakarta yang “naik kelas” di UGM.
Ketiga, IPNU dan PMII harus melakukan semacam “MoU” agar
kader IPNU yang masuk perguruan tinggi dapat –dan harus- menjadi anggota PMII
sebagai kelanjutan kaderisasi ke-NU-an. Bila ada kader IPNU yang “nyasar” di
kampus dengan menjadi anggota organisasi ekstra non-PMII, maka para pengurus
IPNU harus mengingatkannya. Namun, memang untuk kondisi kekinian mengingat
status independensi PMII terhadap NU, maka sebaiknya perlu komitmen ulang dari
PMII untuk tetap “on the right track” pada rel NU bahkan kalau perlu PMII
kembali pada NU secara struktural dan kultural. Toh, atmosfer politik
otoritarianisme Orde Baru yang melatarbelakangi independensi PMII dari NU sudah
tidak ada lagi.
Keempat, PMII –sebagaimana IPNU- juga harus fokus pada
kampus-kampus tertentu. Bila selama ini, PMII tumbuh subur di kampus-kampus
agama seperti UIN, IAIN, STAIN dan STAI swasta, maka sudah saatnya PMII
melakukan “ekspansi pasar” ke kampus-kampus umum terutama UI, ITB dan UGM
mengingat tiga PTN inilah yang berhasil meraih peringkat dalam survey
universitas terbaik sedunia versi Times Higher Education tahun 2008 dimana UI
berada di rangking 287, ITB di urutan 315 dan UGM di rangking 316. PMII harus fokus
dan mengerahkan segenap sumberdayanya “at all cost” untuk merekrut kader dari
UI, ITB dan UGM dan PTN lainnya karena tidak bisa dipungkiri di tiga PTN
tersebut berkumpul “elit breeds” yang akan mengisi sektor strategis di
bisnis/swasta, pemerintahan/ birokrasi dan political & civil society. (alf)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar