Pancasila di Langit Biru
Ditulis
pada 01/06/2012 oleh Saratri
Wilonoyudho
Menurut Cak Nun, Pancasila itu hanyalah sebuah cincin kawin bagi seorang
suami isteri yang bernama manusia Indonesia dan negeri yang bernama Indonesia.
Sama halnya sebuah cincin kawin, maka benda ini tidak begitu penting
dibandingkan ikatan lahir batin antara suami dan isteri tersebut. Cincin kawin
hanyalah sebuah simbol ikatan, karenanya yang harus diperhatikan adalah
sejauhmana si suami ini cinta pada isteri lahir batin dan cinta itu diwujudkan
dalam sebuah “out come” yang nyata.
Sialnya saat ini kita
sibuk menyembah cincin kawin tersebut dan meributkannya dalam berbagai konflik
dalam bingkai “agama-sekularisme”, namun lupa mengurus ikatan suami isteri
tersebut agar menghasilkan keluarga harmonis, dan berdampak bagi kesejahteraan
lahir dan batin. Jelaslah tidak ada masalah antara Pancasila dan Islam.
Orang kalau sudah
sampai tataran Islam yang sejati, otomatis ia adalah seorang Pancasilais, meski
ia tidak pernah ikut penataran Pancasila (P4) atau masuk Lemhanas. Mengapa?
Jawabnya sederhana saja, yakni karena Islam mewadahi kelima sila tersebut. Inti
ajaran Islam adalah penyerahan total hanya kepada Allah SWT dalam melakukan
segala tindakan ibadahnya. Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Ya jelas,
Indonesia adalah Bumi Allah. Kalau kita cinta Allah berarti harus cinta pula
terhadap ciptaanNya, apalagi manusia (Indonesia) sudah diperintahkan atau
ditugaskan menjadi khalifatullah. Dari titik ini maka jelas duduk masalahnya
bahwa Indonesia harus dirawat, disirami, dipupuk, dan dipanen untuk
kesejahteraan bersama untuk menunjukkan rasa terima kasih kita kepada yang
memberi tanah “bocoran surga” ini, yakni Sang Pencipta: Allah SWT.
Setiap tanggal 1 Juni, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Hanya
masalahnya, yang hadir hanyalah keriuhan perdebatan, seminar, workshop, dst,
yang kesemuanya dibingkai dalam kemasan politis dan tidak sampai kepada tataran
perdebatan seorang khalifatullah. Para
ahli, politisi, ilmuwan, dst yang berdebat tentang Pancasila belum sampai
kepada tataran seorang Ulinnuha, Ulil Abshar, Ulil Albab, yang
intinya mendasarkan kejernihan berpikir, kejujuran menggunakan akal, serta hati
nurani yang ikhlas.
Maka yang hadir
hanyalah perdebatan “kusir”, atau perdebatan politis. Mereka tidak sampai
kepada pertanyaan, misalnya apakah Pancasila masih ditaati hingga kini? Dengan
mengkaji secara kritis tentu kita berharap agar setiap peringatan bukan hanya
seremonial belaka. Bangsa ini sudah pada titik nadir kemunduran karena ideologi
pembangunan tidak jelas.
Tulisan ini mencoba memperkenalkan istilah radikalisasi Pancasila agar
ideologi ini menjadi sakti mandraguna. Istilah “Radikalisasi Pancasila” pernah
diucapkan almarhum Prof.Dr.Kuntowijoyo, karena beliau sangat resah akibat
Pancasila hanya dijadikan lip service, bahkan
menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Hasilnya, Pancasila
“tidak operasional”, sehingga bangsa Indonesia kehilangan arah. Pancasila
memang “jimat sakti”, namun jimat itu hanya disarungkan di pinggang dan tak
pernah digunakan untuk “berkelahi” terhadap korupsi, apalagi dijadikan sebagai
ideologi yang mengarahkan pembangunan nasional.
Karenanya, jika
Pancasila ingin tetap “sakti”, maka harus ada “radikalisasi”. Istilah ini kata
Kuntowijoyo menunjuk kepada upaya untuk “mengaktifkan” sila-sila dalam
Pancasila agar “operasional”, untuk menjadi dasar negara, pedoman, filsafat,
serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa, terutama para elite
politik.
Beberapa tahapan
radikalisasi diantaranya, jadikan Pancasila benar-benar sebagai : 1). Ideologi
negara; 2). Salah satu sumber ilmu; 3). Laksanakan Pancasila secara konsisten,
koheren, dan koresponden; 4). Jadikan Pancasila sebagai pelayan horizontal dan
bukan vertikal; dan 5). Jadikan Pancasila sebagai kriteria kritik kebijakan
negara.
Tentu saja tidak cukup
ruang ini untuk menguraikan satu-persatu hal tersebut. Karenanya akan diambil
satu hal yang penting, yakni bagaimana Pancasila mampu dijadikan ideologi yang
“operasional” untuk menuntun etika dan moralitas para politikus dan
penyelenggara negara?
Mengapa hanya mereka
yang dituntut? Sederhana saja, kalau rakyat tidak mungkin akan mengkhianati
negara, karena rakyat adalah pihak yang memberi amanah kepada mereka untuk
menyelenggarakan negara. Rakyat tidak memiliki kekuasaan, karena rakyat
menyerahkan kedaulatan kekuasaan kepada wakilnya dan memberi amanah kepada
penyelenggara negara.
Karenanya pihak yang paling bertanggungjawab terhadap hancurnya negara
adalah para politikus dan penyelenggara negara. Indikatornya jelas, negeri ini
telah tergadai. Korupsi sudah menggurita dan bukan lagi sekadar kasus.
Kesejahteraan rakyat terus merosot. Lihat saja survai dari World Economic Forum, CIA World Factbook, dan Transparency
International(2011), Indeks Pembangunan Manusia kita hanya peringkat
108 dari 178 negara yang disurvai.
Indeks pembangunan
pendidikan hanya peringkat 65 dari 128 negara yang disurvai, pengangguran
peringkat 75 dari 237 negara yang disurvai, infrastruktur 82 (dari 139 negara),
indeks daya saing 44 (139 negara), kesehatan dan pendidikan dasar 62 (dari 139
negara), dan yang menyedihkan, indeks persepsi korupsi 110 dari 178 negara yang
disurvai.
Dalam Pancasila ada
sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, misalnya. Jika sila ini
dipegang dan dijadikan dasar etika moral politikus dan penyelenggara negara,
maka korupsi tidak akan ada.
Pemerintah yang
memiliki jiwa keadilan sosial, pasti tidak akan korupsi, karena korupsi
menimbulkan ketidakadilan, kemiskinan, dan kebangkrutan negara. Dengan
bertindak koruptif, berati juga tidak mengamalkan sila ketuhanan, kemanusiaan,
dan persatuan.
Dalam perspektif Ricoeur (1990),
etika politik itu mengandung tiga tuntutan, yakni : 1). Upaya hidup baik
bersama dan untuk orang lain; 2). Upaya memperluas lingkup kebebasan; dan 3).
Membangun institusi-institusi yang adil. Jelas pula Pancasila tidak kalah
dengan pandangan Ricoeur ini, karena ketiga etika tersebut sudah termuat dalam
sila-sila pancasila.
Bahkan etika politik
yang didasarkan Pancasila, tidak hanya menyangkut etika individu para politikus
dan penyelenggara negara, namun etika ini juga menyangkut tindakan kolektif.
Untuk menunju etika kolektif sudah pasti dibutuhkan pandangan dan aspirasi dari
berbagai pihak. Ini artinya demokratisasi akan berjalan baik jika didasarkan
atas Pancasila.
Radikalisasi Pancasila
juga akan membawa arah pembangunan nasional, karena pada dasarnya tujuan
dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah termaktub di dalam
Pembukaan UUD 45 yang merupakan penjabaran dari roh Pancasila.
Radikalisasi Pancasila
akan semakin operasional jika diterapkan dalam membangun institusi-institusi
sosial. Harus dipahami, korupsi merajalela karena institusi-institusi sosial
kita rusak parah. Institusi sosial (misalnya birokrasi) mendefinisikan hak dan
kewajiban setiap warga negara. Jika institusi sosial tidak sehat, maka ia akan
menjadi sumber “keberuntungan” bagi pihak lain (baca : penguasa, birokrat,
politikus, pengusaha, dst), dan kemalangan bagi pihak lain (baca: rakyat).
Pembangunan institusi
sosial akan berjalan baik jika ada visi dan bukan hanya strategi saja. Meski
terkesan “abstrak”, visi atau ideologi perlu ditanamkan dalam benak
penyelenggara negara karena akan menuntun arah dan kebijakan mereka. Visi dan
ideologi bagai mercusuar moral. Kapal yang berjalan tanpa dipandu mercusuar,
akan menabrak karang dan kandas.
Demikian pula “kapal”
yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, radikalisasi
Pancasila menjadi tuntutan yang tidak mungkin diabaikan jika ingin agar arah
kapal kita tetap kepada tujuannya dan tidak karam di tengah lautan luas.
Jika Pancasila
dikebiri, ia hanya ada di langit biru, hanya di awang-awang, alias tidak
dilaksanakan sebagai ideologi negara. Sialnya, jangankan Pancasila, Allah dan
Rasulullah saja dinomorduakan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar