Rabu, 10 Desember 2014

Pagi Kelabu



Pagi kelabu ujung pandang menikam kabut
Kicau burung ranum mengelus semu kulit perut
Sisihkan langkah asingkan senyum dibalik uraian rambut
Kiclapnya mata menyibak nurani yang mulai melarut
Titik-titik hujan irama gambang bersuara lembut
Sirnalah bising mulut duniaku melebur wujud kabut
Sembari berbisik, "mentari yang malang, masihkah engkau berselimut...?"

Sungguh indah mentari itu kelihatannya
Sayang ia berselimut, ku tak mampu memandangnya

Hai tikus berkepala kerbau
Sambil menghitung laba tertawalah engkau
Semakin klimis pula hitam rambutmu berkilau
Sehabis berendam dikolam air mata ibu yang galau
Sebab sang anak budak tanah sendiri yang hijau

Kian menghambar pagiku diujung mentari
Semakin tawar lidahku menyentuh nasi
Dan bahkan tak terasa lagi iba kuhaturkan sepi
Sampai jentik-jentik air mata mengalir isi hati

Wahai yang berkafan kulit badak....,
Temui aku yang lunglai ini dengan manis dipematangmu
Pakaikanlah penuh kasih selimut sutra terbaikmu
Hidangkanlah manisan termanis dengan rayumu
Dan istirahatkan aku dimahligai tidur terbaikmu
Sekiranya aku hanyut dalam keindahan bujuk rayumu

Mustakhil dan sungguh mustakhil
Jika akalku masihlah cerdas
Jika hatiku masihlah waras
Jika merah putih jiwaku masihlah selaras

Untukmu untung negaramu
Untukku air mata negriku.

Kini Ku




Siang murung beratap kelabu rintik-rintik hujan.
Tersandarkan diri pada pojok ranum sendu fikiran.
Menyalakan bara api kehidupan dipinggir jalan.
Sebuah cikal cahaya terlihat melambaikan tangan.

Kini kusibukkan jari-jemari menjilat dahan yang basah.
Kini kunyatakan rindu entah kemana tertujunya arah.
Kini kudiamkan arum cinta dalam jejak langkah.
Kemelut menerkam jalan lurus tujuan arah hidayah.

Jangan biarkan setiap tetesan air hujan yang kini hampiri wajahmu menghilang sia-sia tanpa makna.
Jangan kau kira sentuhan air hujan itu hanya berlalu sebatas gelembung fana' fatamorgana.
Jangan engkau sangka basahnya pipimu itu tak membuatku kini melihatmu lebih dari mempesona.
Ku titipkan kata-kata pada tetesan itu sebagai butiran molekul-molekul yang dengan indah berirama.
Ku sampaikan rasa pada tetesan itu sebagai butiran molekul-molekul rindu yang telah lama menggema.
Ku sentuh dengan tetesan itu kecup mesrah lembutnya pipimu sehangat anggur merah kala kita bersenggama.
Entah dengan lusuh telingamu ataukah hatimu kau mendengar alunan kata-kata lagu cinta dariku.
Entah dengan lugu perasaan mudamu ataukah hatimu kau timba rindu dari pelataran luasnya istanah hatiku.
Entah dengan lesung pipimu itu ataukan hatimu kau tertawakan kehangatan peluk sayang dariku.
Taukah engkau akan makna tetesan air hujan itu...?
Air itu mengalir semua keindahan yang tak pernah kau tau dari lubuk hatiku dalam setiap tetesnya.
Ketika mataku tak sengaja teralihkan pandang hasrat pada rintik hujan abu-abu putih bajumu.
Sedang ada samar-samar BELO HORIZONTE warna pink entah putih yang sampai kini aku tak tau apa isinya.

Senin, 27 Oktober 2014

Pucuk Rindu

Dikediaman pucuk Rindu
Tersisa bait puisi bisu
Mengisyaratkan rasa malu
Tersirat butiran sekecil debu
Dalam kisah riuh tawa palsu
Disetiap lapis dinding kalbu

Pernah kutarik pelatuk senjata
Erat perlahan terlepas menuju mata
Amunisi khusus sebesar biji korma
Terarah jelas sampai dititik jiwa
Memporak-porandakan darma
Menyucup keluh-kesah dipundak dewa
Mulutmu berkali-kali ucapkan kata
Sekedar silat lidah itu ku anggapnya

Disitulah letak kepandaianmu bertempat
Disitulah langkah indahmu memikat
Disitulah jarak dengan sengaja kau buat
Entah itu langkah kakimu bertabiat
Atau hanya perlambang sengaja kau sayat
Hanyalah bisa menilai ketika mata melihat
Hanya untuk mendengar saat lidah bersilat
Hanya bisa menyentuh wujud yang padat

Jika tak berujung turun hujan
Jangan kau mendungkan awan
Jika pagi yang kau inginkan
Janganlah malam yang kau lupakan
Jika hidup yang kau idamkan
Jangan pernah berhenti berjalan

Hidup adalah jalan
Jalan perlu tujuan
Tujuan itulah kesatuan

Kesatuan adalah milik Tuhan

Sabtu, 18 Oktober 2014

Ku Temui Engkau

Ku temui engkau dalam indah tidurku
Engkau datang dengan lilin ditanganmu
Mengajak hatiku terpesona penuh malu

Ingin kunyatakan rasa rindu dengan kata-kata biasa
Sehingga engkau mudah memahaminya
Namun apalah daya jika lidahku terluka
Ku hanya bisa haturkan pesona
Meski sedikit kaku kau telan dengan mata
Meski tak pernah engkau sadar akan makna
Meski tak pernah engkau bisa memahaminya

Wahai yang jiwamu tertata rapi dihatiku...
Waktu takkan pernah sabar menunggu
Seberapa lamakah hatiku kan terganggu
Selama itulah ruhku kan tertawa dengan rindu
Dua mata yang kumiliki tak ubahnya matamu
Dua telinga juga tak berbeda dengan kedua mataku
Dan bahkan seluruh tubuhku adalah tubuhmu


Engkaupun tau bahwa  jiwaku hanyalah milikmu.