Minggu, 30 September 2012

USAHA



Cukup


Ingatkah Engkau ketika jari-jemarimu menundukkan angkuhku
aku lemah serasa tak bertulang tubuh ini.
Engkau tersenyum seakan tak punya dosa padaku
padahal aku telah tercabik-cabik olehmu.
maka merintihlah aku dalam palung sepi
tanpa teman, kawan dan bahkan lawan sekalipun.
Engkau terus dan terus meracuni mentariku
padahal tak sesekalipun aku pernah mengganggum
atu bahkan menyakitimu
lalu apasalahku........................?
Hingga Engkau tak sedikitpun merasakan hidangan lebaran.
Cukup,cukup dan cukup
sudahi saja siksamu itu,
agar aku bisa tersenyum saat esok mentari membangunkanku.
Memang, sungguh lembut perangaimu itu
jika untuk sosok sepertimu,
tapi, seandainya untuk yang lain malah tak pantas sama sekali
bahkan untuk bidadari yang paling lembut sekalipun
sungguh-sungguh memang tak pantas. 
Jadi, 
Cukupkan saja amarah hatiku yang kau pernah tau
Padamkanlah bara kehinaan yang pernah ada didadaku
Dan buatlah senyunmu itu tertuju padaku.

Senin, 24 September 2012

SENDIRI

Jika orang dulu bisa menuliskan sejarah,
Orang yang akan datang bisa menikmati sejarah
Dan orang sekarang adalah orang yang menciptakan perubahan.


Sekedar mengisi gelas mungkin mudah,
Tentu saja jika gelas tak tumpah atau bahkan malah pecah.

Mungkin menundukkan kepala lebih mudah,
Jika dibandingkan dengan mendiamkan hati.

Jangan hanya suka menabur garam,
Belum tau ya....?
Kalau yang kamu taburi garam adalah lautan.
Padai-pandailah membaca kawan,
Jika tak mau terlihat kebodohanmu. 

GUNUNG KAWI

SEJARAH PESAREHAN GUNUNG KAWI


Gunung KawiKronologi sejarah wisata ritual Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri ke arah bagian timur pulau Jawa yaitu Jawa Timur. Di antaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria. Beliau pergi ke berbagai daerah di antaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi ke arah Timur Selatan (Tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.


Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di Dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh Desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam di dusun Djoego Desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840-1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri ke daerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben, Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego Desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola Padepokan Djoego.


Pada waktu itu Padepokan Djoego telah berkembang, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian ± tahun 1850-1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi. Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa di tempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).




Gapura Pesarean Gunung KawiDengan demikian maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, di antaranya : Mbah Suro Wates, Mbah Kaji Dulsalam (Birowo), Mbah Saiupan (Nyawangan), Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang), Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, Mbah Tugu Drono, Ki Kromorejo, Ki Kromosari, Ki Haji Mustofa, Ki Haji Mustoha, Mbah Dawud, Mbah Belo, Mbah Wonosari, Den Suryo, Mbah Tasiman, Mbah Tundonegoro, Mbah Bantinegoro, Mbah Sainem, Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina), Mbah Cakar Buwono, Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC). Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari.


Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka, berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pimpinan Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian tempat itu dinamakan Tumpang Rejo. Setelah itu perjalanan diteruskan ke arah utara. Di sebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang), mereka berhenti dan membuat Pawon (perapian). Lama-kelamaan menjadi menjadi sebuah dusun yang dinamakan Lopawon. Kemudian mereka melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai ke sebuah hutan dan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, sehingga lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan ke arah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka. Kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko. Selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa. Anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong/tidak tegak ke atas, sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian, setelah mendapatkan tempat istirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan ke arah selatan sampai di daerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarang ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari.


Selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari, kemudian disepakati nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari. Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya (pengikut) untuk pulang ke dusun Djoego, Desa Sanan Kesamben, untuk melapor kepada Eyang Djoego bahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan. Setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai.


Makam Pesarean
Untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke Dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) di sebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Tokoh-tokoh yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah : Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, Ki Moeridun, Mbah Bantu Negoro, Mbah Tuhu Drono, Mbah Kromo Rejo, Mbah Kromo Sasi, Mbah Sainem, Kyai Haji Mustofa, Kyai Haji Muntoha, Mbah Belo, Mbah Sifat / TjanThian, Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa.


Demikian di antaranya yang tinggal di Dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering melakukan perjalanan bolak-balik dari dusun Djoego–Sanan–Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya wejangan dan petunjuknya yang berada di Wonosari Gunung Kawi.


Pada hari Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M, Kanjeng Eyang Djoego wafat. Jenasahnya dibawa dari Dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk dimakamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung Kawi, kemudian tiba di Gunung Kawi pada hari Rabu Wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari Kamis Kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari Senin Pahing, maka pada setiap hari Senin Pahing diadakan sesaji dan selamatan oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono. Apabila, hari Senin Pahing tepat pada bulan Selo (bulan Jawa ke sebelas), maka selamatan diikuti oleh seluruh penduduk Desa Wonosari yang dilakukan pada pagi harinya. Kegiatan ini sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.


Sejak meninggalnya Kanjeng Eyang Djoego, Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang yang menetap di Dusun Wonosari. Dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan (membuka lahan di hutan). Oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahkan ke barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh : Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan),Mbah Kasan Mubarot (tetap menetap di babatan Kapurono), Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah Kasan Sengut),Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah Kasan Sengut).

Rombongan itu juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.


Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak pula. Dengan bertambah luasnya dusun dan bertambah banyaknya jumlah penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yang bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu. Maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman merupakan pamong pertama dari Dusun Wonosari.


Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller (seorang putri Residen Kediri) datang ke Wonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eyang R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari dan mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876. Setelah sepeninggal Eyang R.M. Iman Soedjono, Ny Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi. Pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat. Pek Yam pada waktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura. Setelah jalan itu jadi, kemudian dilengkapi dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan. Pada hari Rabu Kliwon tahun 1876 Masehi, Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sejak meninggalnya Eyang R.M. Iman Soejono, Dusun Wonosari bertambah ramai.

Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi

Suharto mengisahkan bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang.
Suharto mengaku mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih kecil. Tamyang ini biasa datang ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.
Pada era tahun  40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo. Nauzubillah Minzalik.
BaNi MusTajaB
Gambar
   
Pesugihan Gunung kawi (Sejarah Gunung Kawi) 

 Dalam Kronologi sejarah wisata ritual gunung kawi ini di mulai pada tahun 1830 setelah Pangeran diponegoro menyerah pada Belanda. Pada saat itu pengikut pangeran Diponegoro banyak yang melarikan diri dari arah bagian timur pulau jawa yaitu jawa timur, di antara eyang djoego atau kyai zakaria. mereka ke pergi  ke berbagai daerah seperti Pati, begelan, Tuban, Kepanjen, kabupaten Malang.
Pada hari senin pahing tgl satu selo thn1817 M kanjeng eyang Djoego wafat dan jenazahnya di bawa dari dusun djeogo kesemben ke dusun wonosari gunung kawi untuk di makamkan di bukit gumukGajah mungkur di selatan gunung kawi.

Jasadnya sampai di gunung kawi pada hari rabu  wage malam dan di makamkan hari kamis kliwon pagi.
dan pada saat itu juga di adakan selamatan dan sesaji yang di ikuti penduduk setempat tepatnya hari senin pahing bulan selo ( bulan jawa ke sebelas)  kegiatan ini sampai sekarang di kenal dengan nama Barikan.
Antara tahun 1817- 1876 M datang seorang wanita berkebangsaan Belanda yang bernama Scuhuller ( seorang putri residen kediri) untuk berobat ke R.M Imam Soedjono setelah sembuh Scuhuller tidak pulang ke Kediri namun menetap dan memngabdi sampai wafat tahun 1817 M.
R.M Soedjono sendiri wafat pada hari rabu kliwon tahun 1817M dan di makamkan berjajar dengan Mbah Djoego di gumuk Gajah mungkur.
 Daun Dewandaru
  Menjadi kaya berarti harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak kejatuhan daun dewandaru, maka Anda tidak akan pernah menjadi kaya. Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.
Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.
 Kisah Singkat Daun Dewandaru
 
Meskipun demikian, saya pun mendapat cerita menarik seputar daun dewandaru ini. Seorang kerabat saya bercerita seputar keunikan kisah daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita ini dari ayah saya. Kisah tentang daun dewandaru yang membuat seorang perempuan menjadi kaya raya,” kata Dipo.
Dipo menceritakan bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir tahun 1960-an), memiliki seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong kaya. Keakraban Sang Ayah dengan temannya itu (sebut saja: Sugih) membuatnya sering bermain ke rumah Sugih.
Orang tua Sugih terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal persawahan yang luas, penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu. Padahal, pada masa itu masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi yang memprihatinkan.

Suatu ketika, Sang Ayah berkunjung ke rumah Sugih dan bermain seperti biasanya. Ketika itu, orangtua Sugih berada di rumah dan sedang berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya mendengar ibunda Sugih berbicara tentang daun dewandaru. Inilah yang membuat ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan semua cerita ibunda Sugih,” kata Dipo.
Dikisahkan, ibunda Sugih hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Suaminya hanya petani biasa, sama seperti masyarakat lain di desanya. Karena itulah, perempuan ini pun pergi ke Gunung Kawi untuk mengadu peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan semata-mata demi meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana terjadi pada masa sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Sugih pun pergi ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi. Bagian penting dari ritual itu adalah tirakat di bawah pohon dewandaru. Ibunda Sugih tidak sendirian berada di bawah pohon itu. Ada banyak peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama duduk di bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.

Entah doa apa yang dibaca Ibunda Sugih di bawah pohon keramat itu. Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar daun dewandaru yang jatuh ke pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah orang yang berada di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di pundak  Ibunda Sugih.
Mereka pun berteriak,” Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka mendekati Ibunda Sugih dan berupaya merebut daun dewandaru itu. Beberapa orang, kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian Ibunda Sugih untuk mendapatkannya.
Ibunda Sugih hanya bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba tubuhnya, membuka BH secara kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan membuka celana dalamnya hingga nyaris telanjang bulat, seolah hendak diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di tubuh Ibunda Sugih. Mereka pun mencari-cari di tanah di tempat Ibunda Sugih duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda Sugih pulang ke rumahnya di Blitar sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan mendapat perlakuan tidak senonoh dari para peziarah lain yang juga sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya dirinya menerima perlakuan semacam ini.
Lantas dimana daun dewandaru itu?

Inilah yang tidak diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah, Ibunda Sugih masuk ke dalam kamar dan membuka celana dalamnya. Lalu dia mengambil daun dewandaru itu dari dalam vaginanya.
Rupanya, sesaat setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya, seketika Ibunda Sugih mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke dalam liang vaginanya.
Itulah sebabnya tidak seorang pun para pria rakus itu menyadarinya. Padahal, para pria jahanam itu sudah berhasil menelanjanginya.




Amadanom, Dampit, Malang

 Amadanom, Dampit, Malang

Amadanom adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Tidak ada data atau referensi yang akurat tentang sejarah asal usul berdirinya Desa amadanom .Menurut cerita yang beredar di masyarakat ,ada dua versi yang kesemuanya mempunyai kisah sendiri – sendiri , adapun urutan cerita tersebut sebagai berikut: versi pertama: konon dalam cerita sejarah , Amadanom berasal dari kata AMAD dan ANOM, yang artinya; AMAD: adalah nama seseorang yang pertama kali mejejakkan kakinya di desa amadanom atau biasa disebut yang babat alas Desa Amadanom, sedangkan ANOM yang berarti muda. Amadanom sendiri mempunyai arti AMAD yang matinya masih MUDA(anom). Menurut cerita terdahulu, AMAD atau yang biasa di sebut mbah AMAD DRA'IS berasal dari daerah jawa tengah yang konon ceritanya beliau adalah seorang prajurit dari pangeran diponegoro yang mengembara ke daerah dampit bersama dengan ke 4 temannya yang salah satu namanya adalah mbah dono dan mereka membuka perkampungan baru di desa amadanom, mbah AMAD dan mbah DONO bersama ke 3 temannya akhirnya tinggal di desa amadanom. anak, cucu dan keturunan dari kelima orang tersebut kebanyakan menjadi penduduk asli desa amadanom sampai sekarang. versi kedua:konon ceritanya nama amadanom diambil langsung dari kata amad dra'is,dan tidak dari kata AMAD dan ANOM yang artinya AMAD yang meninggalNya masih ANOM (muda) dari cerita versi dua ini mbah amad dra'is diceritakan tidak meninggal di usia muda, melainkan meninggal di usia tua. tapi sampai sekarang belum ada yang mengetahui mana cerita yang lebih akurat. sampai sekarang untuk mengenang jasa jasa beliau setiap bulan asyuro di adakan selamatan bersih deso.

SEJARAH DESA PAMOTAN

SEJARAH DESA PAMOTAN

Tidak ada data atau referensi yang akurat tentang sejarah asal usul berdirinya Desa Pamotan .Menurut cerita yang beredar di masyarakat ,ada dua versi yang kesemuanya mempunyai kisah sendiri – sendiri , adapun urutan cerita tersebut sebagai berikut : Versi Pertama : Konon dalam cerita sejarah , orang yang pertama kali menjejakkan kakinya di Desa Pamotan terjadi pada tahun 1011 di hari Selasa Legi adalah serombongan para punggawa dari Kerajaan Mataram yang berjumlah 64 orang,pimpinan rombongan tersebut adalah Raden Prawiro Astro dan di dampingi oleh Roro Wening Sari ,Roro Krendo ,dan Roro Sloro Ireng.Seluruh rombongan tersebut singgah di sebelah utara ,sesampainya di tempat tersebut Raden Prawiro Astro bersamadi dan berkomunikasi dengan Sang Yang Murbeing Dumadi atau Tuhan YME. Dari situlah Raden Prawiro Astro mendapatkan Dawuh atau wangsit dari Tuhannya ,untuk pergi ke atas puncak gumuk ( semacam gunung kecil ) di sebe4lah selatannya. Lalu pergilah rombongan tersebut ke atas puncak gunung tersebut .Sesampainya di atas puncak gunung Raden Prawiro Astro merasa lapar ,lalu dibukalah bekal yang di bawa untuk dimakan secara bersama – sama,secara kebetulan bekal yang dia bawa adalah masakan ayam yang dibumbu dengan santan istilah dalam bahasa jawa adalah pecel pitik. Disaat para punggawa menikmati bekal yang ia bawa , seluruh rombongan tersebut dilingkari oleh seekor ular yang besar sekali ,lilitan atau lingkaran ular tersebut mampu memuat ( momot ) rombongan Raden Prawiro Astro di atas puncak gunung .Dengan kejadian tersebut maka Raden Prawiro Astro bersamadi untuk berkomunikasi dengan Sang Yang Murbeing Dumadi. Dari hasil samadi tersebut Raden Prawiro Astro mendapatkan wangsit yaitu : Gunung yang beliau tempati diberi nama Gunung Pecel Pitik sesuai dengan bekal yang dibawa dan beliau makan.Sedangkan daerah di sekitar gunung pecel pitik dinamakan Pamotan ,hal ini dikarenakan lilitan atau lingkaran ular yang besar tersebut mampu memuat ( momot = bhs jawa ) seluruh rombongan yang berjumlah 64 orang ,serta daerah pertama kali Raden Prawiro Astro mendapatkan wangsit ( dawuh = bhs jawa ) dinamakan Dawuhan. Setelah melakukan samadi dan meninggalkan pesan kepada ponggawanya di atas puncak gunung pel pitik,maka Raden Prawiro Astro beserta rombongan turun dari gunung dan kembali ke Dawuhan ,terus mendirikan padepokan ,dan menetap di daerah tersebut sambil melanjutkan membabat hutan ke arah utara ,barat dan selatan untuk tempat pemukiman ,peladangan dan persawahan. Pada waktu para punggawa dan Raden Prawiro Astro usai membabat hutan ke arah selatan ,seluruh rombongan pergi ke tempat tersebut ,karena pada saat itu situasi dan cuacanya panas ,maka beliau beristirahat di gumuk ( gunung kecil ),lalu ketiga putri yang ikut rombongan menjumpai sebuah mata air kecil ( sumber air ) yang jernih sekali. Setelah itu Roro Sloro Ireng sakit dan meninggal dunia serta dimakamkan di tempat itu pula. Sesudah Roro Sloro Ireng meninggal dunia ,Raden Prawiro Astro melakukan samadi untuk berkomunikasi dengan Tuhannya.Dari hasil samadi tersebut maka gumuk ( gunung kecil ) dinamakan Gunung Sumuk ( gunung panas = bhs jawa ),sedangkan tempatnya dinamakan Sumber ayu ,sesuai dengan nama ditemukan sumber yang jernih dan paras wajah Roro Sloro Ireng yang cantik. Rombongan yang ke dua singgah di Desa Pamotan adalah Pujangga dari Mangkunegaran yang datang pada tahun 1024 dan dipimpin oleh Patih Raden Bambang Irawan, beliau langsung menuju ke tempat sebelah timur dan melanjutkan pekerjaan Raden Prawiro Astro membabat hutan untuk tempat pemukiman ,maka jadilah tempat pemukiman para rombongan tersebut.Dari kondisi itulah maka tempat tersebut dinamakan Kepatihan,karena sudah menjadi kampung kecil yang di huni oleh para anggota rombongan , sedangkan kerabat saudara Patih Raden Bambang Irawan tinggal di sebelah timurnya yang sekarang disebut dengan Kepatihan Ngurawan atau Sentanan yang asal kata dari Sentono = Saudara dalam bahasa jawa. Patih Raden Bambang Irawan beserta rombongan membabat hutan untuk areal lahan pemukiman ,peladangan dan persawahan ,kearah utara dari kepatihan hingga sampai menemukan sebuah mata air yang sangat besar sekali ( sekarang dinamakan umbulan ).Usai melakukan pembabatan hutan Patih Raden Bambang Irawan ingin merayakan atas suksesnya pembabatan hutan,lalu para punggawa yang lain beramai – ramai memasang umbul - umbul dari bambu berjajar – jajar di daerah yang sudah dibabat tersebut .Dari pemasangan umbul – umbul tersebut di sebelah utara lebih banyak di bandingkan dengan didaerah selatannya .Oleh karena itu disebelah utara dinamakan Umbul Rejo ( umbul – umbulnya ramai ) ,sedang di sebelah selatannya dinamakan Ubalan ( umbul – umbulnya jarang .Hingga sampai saat ini didekat dengan mata air dinamakan Umbul Rejo dan sebelah selatannya dinamakan Ubalan. Sistem Pemerintahan pertama kali di desa pamotan baru ada pada tahun 1830 dimana pada saat itu Negara Indonesia sudah diduduki oleh tentara Belanda . Sedang Kepala Pemerintahan Desa pada saat itu adalah Bapak Kertoleksono. Beliau merupakan salah satu pasukan Pangeran Diponegoro yang lari ke arah timur dan menetap di Desa Pamotan . Karena Kepala Pemerintahan di saat itu juga disebut Aris,maka nama Bapak Kertoleksono disebut juga dengan nama Aris Kertoleksono bahkan oleh warga juga disebut sebagai Kepala Desa yang pertama di Desa Pamotan.
 
       Setelah bapak Aris Kertoleksono meninggal maka pucuk pimpinan 
pemerintahan desa digantikan oleh keturunan ( anak ) beliau 
yang bernama Kerto Embat yang lebih di kenal dengan Bapak H. Saleh.
Penggantian tersebut atas penunjukan menginggat jasa – jasa ayahnya .
Setelah itu H. Saleh meninggal maka digantikan oleh putranya yang bernama Yasin.
       Pimpinan Pemerintahan Desa Pamotan atau Kepala Desa 
yang dipilih secara langsung dan secara demokrasi dilaksanakan pada tahun 1953, 
dan yang menjadi Kepala Desa atas pilihan rakyat pada saat itu adalah 
Bapak Parto Radjak jadi Bapak Parto Radjak adalah merupakan Kepala Desa Pamotan 
yang pertama di pilih  oleh rakyatnya secara demokrasi.
Dari tahun 1953 itulah maka pemilihan Kepala Desa selalu dilakukan secara demokrasi 
dipilih langsung oleh rakyatnya sampai sekarang. 
 
Versi Kedua 
Pertama kali Desa Pamotan dibuka sekitar tahun 1830.Konon bahwa Desa Pamotan adalah desa yang tertua dari desa – desa yang ada di seluruh Kecamatan Dampit.Hal ini ditandai dengan adanya pasar rakyat di Desa Pamotan sudah ada lebih dahulu dibandingkan dengan desa – desa yang lainnya , bahkan di Dampitpun masih belum ada pasar rakyat itu . Di zaman dahulu Desa ini merupakan tempat yang strategis untuk mengumpulkan barang – barang dagangan hasil hutan dan hasil bumi lainnya dari daerah – daerah sekitarnya untuk dimuat dan didistribusikan ke daerah lain . Karena merupakan tempat berkumpulnya barang – barang dagangan hasil hutan dan hasil bumi, maka tempat tersebut banyak sekali muatan ( momotan = bhs jawa ) yang akan dibawa ke daerah lain . Dengan adanya itulah tempat atau desa ini dikenal dengan nama Desa Pamotan . Akhirnya dengan berjalannya waktu lama kelamaan disesbut dengan Desa Pamotan . Pemimpin pemerintahan Desa atau Kepala Desa pertama di Desa Pamotan adalah Kertoleksono beliau adalah salah satu pasukan pengikut Pangeran Diponegoro yang setia pada pemimpinnya . Karena terjadi peperangan di daerahnya dan Pangerang Diponegoro dapat ditaklukkan oleh tentara belanda maka beliau melarikan diri ke arah timur bersama rombongannya . Disamping itu beliau juga seorang yang taat kokoh dalam memeluk agamanya , yaitu agama islam .

                Didalam perjalanannya Kerto leksono pertama – tama singgah
di desa ini , lalu melanjutkan ke arah timur hingga sampai di daerah Tirtoyudo , 
tetapi beliau kembali lagi ke Desa ini , hal ini dikarenakan bahwa di Desa ini 
ada sumber air alam yang sangat besar sekali.Dengan adanya kondisi alam itulah 
beliau akhirnya menetap di Desa ini , dan mulai melakukan 
aktifitasnya yaitu membabat hutan untuk areal perladangan dan persawahan . 
Atas pemikiran dan jasa beliau dalam memimpin orang – orang untuk bergotong royong 
membangun sungai maka terciptalah lahan persawahan 
yang sangat luas sekali desa ini , 
serta juga dengan cara bergotong royong pula beliau memimpin untuk 
membuat jalan – jalan , seperti di jalan Jend.Gatot Subroto saat ini.
 
                Atas jasa – jasa beliau dalam memimpin serta mengatur dan 
mengelolah sistem pemerintahan yang arif , dan bijaksana , 
maka beliau mendapat julukan atau tambahan nama Aris . 
Sehingga sekarang lebih di kenal dengan nama Aris Kertoleksono , 
atau Mbah Aris Kertoleksono . 
Beliau wafat di Desa Pamotan dan dimakamkan di dekat 
sungai Pamotan Yang lebih dikenal dengan sebutan wakaf. 
 
Setelah mbah Aris Kertoleksono meninggal dunia , 
pucuk pimpinan Desa atau Kepala  Desa digantikan berturut   - turut oleh :
- Haji Salleh ( putra kedua mbah Aris Kertoleksono alm ) - Yasin ( putra Bapak Haji Saleh ) - Parto Radjak (1953 – 1969 ) - Digdo Mukawi ( 1969 – 1976 ) - Mahfud Junaedi (1976 – 1990 ) - Bambang Tri Lukianto ( 1990 – 1993 ) - Mardai ( 1993 – 2003 ) - Adi Yuda Rifai ( 2003 – sekarang ) dirangkum dari berbagai sumber oleh : Gatot Sudarmanto (Car-X)

Arti Lambang Kabupaten Malang


Arti Lambang Kabupaten Malang

Pada posting sebelumnya kita telah membahas arti lambang Kabupaten Madiun. Selanjutnya pada posting kali ini, kita akan membahas arti lambang Kabupaten Malang. Namun sebelum masuk ke pembahasan tentang arti lambang Kabupaten Malang, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sekilas wawasan tentang Kabupaten Malang.

A. Sekilas wawasan tentang Kabupaten Malang

  • Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
  • Kabupaten malang beribukota di Kecamatan Kepanjen.
  • Motto Kabupaten Malang yaitu “Satata Gama Karta Rahardja” (Menata Semua Untuk Kesejahteraan)
  • Luas wilayah kabupaten Malang adalah sekitar 4.576 km2
  • Kode area telepon untuk wilayah Kabupaten Malang yaitu +62 341 atau 0341
  • Batas-batas wilayah Kabupaten Malang yaitu

  • Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kota Batu, dan Kabupaten Pasuruan
  • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lumajang
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri

  • Kabupaten Malang sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan yang berhawa sejuk, Malang dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur.
  • Wilayah Kabupaten Malang dibagi menjadi 33 Kecamatan yang meliputi Ampelgading, Bantur, Bululawang, Dampit, Dau, Donomulyo, Gedangan, Gondanglegi, Jabung, Kalipare, Karangploso, Kasembon, Kepanjen, Kromengan, Lawang, Ngajum, Ngantang, Pagak, Pagelaran, Pakis, Pakisaji, Poncokusumo, Pujon, Sumbermanjing Wetan, Singosari, Sumberpucung, Tajinan, Tirtoyudo, Tumpang, Turen, Wagir, Wajak, dan Wonosari
  • Di Kabupaten Malang terdapat terminal bus antarkota yaitu Terminal Arjosari.
  • Malang terletak di jalur kereta api lintas Surabaya-Malang-Blitar-Kertosono-Surabaya.
  • Di wilayah Kabupaten Malang terdapat sebuah Bandara bernama Bandara Abdul Rahman Saleh.
  • Beberapa objek wisata yang ada di Kabupaten Malang yaitu

Wisata gunung : Gunung Kawi, Gunung Arjuno-Welirang, Bromo, Gunung Semeru, Gunung Anjasmoro

Wisata air : Waduk Selorejo, Kasembon Rafting, Bendungan Sutami, Bendungan Lahor, Taman Ria Sengkaling, Wendit Water Park, Pemandian Umbulan, Pemandian Dewi Sri, Pemandian Ken Dedes, Pemandian air panas Cangar

Wisata air terjun : Air terjun Coban Rondo, Air terjun Parang Teja, Air terjun Coban Pelangi, Air terjun Coban Glothak.

Wisata sejarah : Candi Singosari dan arca Dwarapala, Candi Jago (Jayaghu), Candi Kidal

Wisata pantai : Modangan (70 km), Ngliyep 62 km, Jonggring Saloko (69 km), Kondang Bandung, Kondang Iwak, Bantol, Nglurung, Ngebros, Bajul Mati (58 km), Wonogoro (55 km), Nganteb, Balekambang (57 km), Kondang Merak (59 km), Kipas, Tamban (68 km), Rawa Indah, Tambak Asri (60 km), Sendangbiru (Segoro Anakan) (69 km), Sipelot, Lenggoksono, Tanger (70 km), Licin (64 km)

Wisata agro: Kebun Teh PTPN Wonosari, Wisata petik jeruk, PWEC (Petungsewu Wildlife Ecosystem Conservation), Wisata durian.

  • Klub sepakbola asal Kabupaten Malang yaitu Arema Indonesia dan Persekam / Metro FC yang keduanya bermarkas di stadion Kanjuruhan, Kepanjen, kabupaten Malang

B. Arti Lambang Kabupaten Malang


Inilah gambar lambang Kabupaten Malang, sumber gambar dari wikipedia/ Kabupaten_Malang

arti lambang, lambang Kabupaten Malang, logo Kabupaten, gambar lambang, arti lambang Kabupaten Malang, logo-logo, logos, membuat logo, daftar Kabupaten, Kabupaten di Indonesia
Lambang Kabupaten Malang
 untuk melihat deskripsi dan lisensi dari gambar tersebut, silahkan klik di sini

# Arti Warna dalam Lambang Kabupaten Malang
1. MERAH PUTIH = Perisai Segi Lima
2. MERAH = Tulisan Kabupaten Malang
3. KUNING EMAS = Garis tepi atap kubah
4. HIJAU = Warna dasar kubah
5. HIJAU = Gunung Berapi
6. PUTIH = Asap
7. PUTIH DAN HITAM = Keris
8. PUTIH = Buku terbuka
9. BIRU TUA = Laut
10. PUTIH = Gelombang laut ( Jumlah 19 )
11. KUNING EMAS = Butir padi ( Jumlah 45 )
12. PUTIH = Bunga kapas ( Jumlah 8 )
13. HIJAU = Daun kapas ( Jumlah 17 )
14. KUNING EMAS = Bintang bersudut lima
15. PUTIH DAN HITAM = Pita terbentang dengan sesanti Satata Gama Kartaraharja
16. KUNING EMAS = Rantai ( Jumlah 7 )

# Makna Gambar dalam Lambang
  • Jiwa Nasional Bangsa Indonesia yang suci dan berani, dimana segala usaha ditujukan untuk kepentingan Nasional berlandaskan Falsafah Pancasila dilukiskan dengan PERISAI SEGI LIMA dengan garis tepi tebal berwarna MERAH PUTIH.

  • KUBAH dengan garis tepi atapnya berwarna KUNING EMAS dan warna dasar HIJAU mencerminkan papan atau tempat bernaung bagi kehidupan rohani dan jasmani diruang lingkup Daerah Kabupaten Malang yang subur makmur.

  • BINTANG BERSUDUT LIMA berwarna KUNING EMAS, mencerminkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan Falsafah Pancasila yang Luhur dan Agung.

  • UNTAIAN PADI berwarna KUNING EMAS, DAUN KAPAS berwarna HIJAU serta BUNGA KAPAS berwarna PUTIH mencerminkan tujuan Masyarakat adil dan makmur.

  • DAUN KAPAS berjumlah 17 (Tujuh Belas), BUNGA KAPAS berjumlah 8 (Delapan), GELOMBANG LAUT berjumlah 45 (Empat Puluh Lima) mencerminkan semangat perjuangan Proklamasi 17 Agustus 1945.

  • RANTAI berwarna KUNING EMAS mencerminkan Persatuan dan Keadilan GUNUNG BERAPI berwarna HIJAU mencerminkan potensi Alam Daerah Kabupaten Malang sedangkan ASAP berwarna PUTIH mencerminkan semangat yang tak pernah kunjung padam.

  • LAUT mencerminkan kekayaan alam yang ada di daerah Kabupaten Malang sedangkan warna BIRU TUA mencerminkan cita-cita yang abadi dan tak pernah padam.

  • KERIS yang berwarna HITAM dan PUTIH mencerminkan Jiwa Kepahlawanan dan Kemegahan sejarah Daerah Kabupaten Malang.

  • BUKU TERBUKA berwarna PUTIH mencerminkan tujuan meningkatkan kecerdasan rakyat untuk kemajuan.

  • Sesanti SATATA GAMA KARTA RAHARJA mencerminkan Masyarakat adil dan makmur materiil dan spirituil disertai dasar kesucian yang langgeng (abadi).

SEJARAH KOTA MALANG II

SEJARAH KOTA MALANG
Daerah Malang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti Arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban. Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja menunjukkan Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu.
Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga / Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan Majapahit).


MASA KERAJAAN KANJURUHAN
Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
  • Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
  • Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
  • Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
  • Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
  • Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
  • Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
  • Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
  • Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
  • Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Salah satu Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.
MASA KERAJAAN MATARAM HINDU
Keturunan Dewasimha dan Gajayana mundur sejalan dengan munculnya dinasti baru di daerah Kediri yaitu Balitung, Daksa, Tulodong dan Wawa yang merupakan keturunan Raja Mataram Hindu di Jawa Tengah. Balitung (898 - 910) adalah Raja Mataram pertama yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dinasti ini memusatkan kekuasaannya di daerah Kediri yang lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan dengan bekas pusat kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan di Malang. Pada masa ini Malang hanyalah sebuah wilayah yang tidak begitu penting kedudukannya.
MASA KERAJAAN KEDIRI, DAHA DAN JENGGALA
Dinasti berikutnya yang menguasai Kediri setelah kemunduran Mataram Hindu adalah keturunan Sindok, Dharmawangsa, Airlangga dan terakhir Kertajaya (1216 - 1222). Pada masa ini pusat kekuasaan beralih ke Daha / Jenggala sedangkan daerah Malang menjadi sebuah wilayah setingkat Kadipaten yang maju dan besar terutama sebagai dalam bidang keagamaan dan perdagangan, dipimpin oleh seorang Akuwu.
MASA KERAJAAN SINGOSARI
Singosari dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani diseluruh Nusantara dan manca negara. Singosari semula adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Raja Kediri yaitu Kertajaya. Kadipaten tersebut bernama Tumapel dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung yang kemudian direbut kedudukannya oleh Ken Arok. Ken Arok kemudian mengembalikan pusat kekuasaan ke daerah Malang setelah Kediri ditaklukkan. Selama 7 generasi Kerajaan Singosari berkembang pesat hingga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Bahkan Raja terakhir yaitu Kertanegara mempermalukan utusan Maharaja Tiongkok Kubhilai Khan yang meminta Singosari menyerahkan kekuasaannya.
Singosari jatuh ketangan Kediri ketika sebagian besar pasukan Kertanegara melakukan ekspedisi perang hingga ke Kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Namun tidak lama kemudian pasukan Kediri berhasil dipukul mundur oleh keturunan Kertanegara yaitu Raden Wijaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Pada saat yang hampir bersamaan Raden Wijaya juga harus menghadapi serbuan dari Armada Tiongkok yang menuntut balas atas perlakuan Raja Singosari sebelumnya (Kertanegara) terhadap utusannya. Armada Tiongkok inipun berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya berkat bantuan dari Penguasa Madura yaitu Arya Wiraraja.


MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (
Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger - Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.
Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).

Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.

Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada Asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa Alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.

Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.


MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena kultus Dewa - Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam. Peninggalan peradaban Hindu - Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger sekarang.
Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan Inggris pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada jalur kereta api dan dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG. Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.


MASA KEMERDEKAAN
Pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan Pemerintah Daerah Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I 1947 dan Clash II 1949) daerah Malang menjadi Basis perjuangan baik politis maupun gerilya. Berbagai pasukan antara lain TGP dan pasukan Hamid Rusdi sangat terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Salah satu pertempuran dahsyat dalam mempertahankan Kota Malang yang selalu dikenang adalah front Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat itu gugur 35 orang anggota Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di bekas lokasi pertempuran tersebut kini didirikan Monumen dan Makam Pahlawan Trip. Makam Pahlawan yang lain terletak di Jalan Veteran tidak jauh dari Jalan Pahlawan Trip.
MASA ORDE LAMA
Pergolakan politis pada akhir masa Orde Lama juga terjadi di Malang karena aktifitas PKI / Komunis cukup banyak mempengaruhi masyarakat terutama golongan pemuda. Terjadi rapat2 umum, demonstrasi, kerusuhan dan Bentrokan fisik antara pendukung Komunis dengan pendukung Pancasila, salah satunya yang terkenal adalah penyerbuan Gedung Sarinah sekarang. Akhirnya kelompok Komunis dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah Blitar sehingga dilakukan operasi militer Sandhi Yudha yang mengakhiri petualangan Komunis di Indonesia.
MASA ORDE BARU
Kota Malang berkembang pesat pada masa Orde Baru berkat perkembangan perekonomian yang semakin baik dan semangat masyarakat yang kuat untuk meraih hari depan yang lebih baik. Berbagai kegiatan pembangunan di segala bidang terus dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan.
MASA REFORMASI
Malang sebagai Kota Pendidikan juga menjadi salah satu Barometer aksi yang menggulirkan reformasi. Ribuan Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan untuk memperjuangkan hak rakyat dan prinsip demokrasi hingga berhasil. Dan perjuangan terus dilanjutkan di daerah antara lain dengan mengupayakan pemilihan Pimpinan Daerah (Walikota) yang demokratis.

Sejarah Kota Malang

Sejarah dan Asal-usul Kota Malang

Adalah seorang raja yang bijaksana dan amat sakti, Dewasimha namanya. Ia menjaga istananya yang berkilauan serta dikuduskan oleh api suci Sang Putikewara (Ciwa). Berbahagialah sang Raja Dewasimha karena dewa-dewa telah menganugerahkan dalam hidupnya seorang putera sebagai pewaris mahkotanya. Putra yang kemudian menjadi pelindung kerajaan itu bernama Liswa atau juga dikenal sebagai Gajayana. Adalah Gajayana seorang raja yang begitu dicintai rakyatnya, berbudi luhur dan berbuat baik untuk kaum pendeta serta penuh baktu sesungguh-sungguhnya kepada Resi Agastya.
Sebagai tanda bakti yang tulus kepada Resi tersebut, sang Raja Gajayana telah membangun sebuah candi yang permai untuk mahresi serta untuk menjadi penangkal segala penyakit dan malapetaka kerajaan. Jikalau nenek moyangnya telah membuat arca Agstya dari kayu cendana, maka Raja Gajayana sebagai pernyataan bakti dan hormatnya telah memerintahkan kepada pemahat-pemahat ternama di seantero kerajaan untuk membuat arca Agastya dari batu hitam nan indah, agar semua dapat melihatnya. Arca Agastya yang diberi nama Kumbhayoni itu, atas perintah raja yang berbudi luhur tersebut kemudian diresmikan oleh para Regveda, para Brahmana, pendeta-pendeta terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli, pada tahun Saka, Nayana-Vava-Rase(682) bulan Magasyirsa tepat pada hari Jum’at separo terang.
Ia Raja Gajayana yang perkasa itu adalah seorang agamawan yang sangat menaruh hormat kepada para pendeta. Dihadiahkannya kepada mereka tanah-tanah beserta sapi yang gemuk, sejumlah kerbau, budak lelaki dan wanita, serta berbagai keperluan hidup seperti sabun-sabun tempat mandi, bahan upacara sajian, rumah-rumah besar penuh perlengkapan hidup seperti : penginapan para brahmana dan tamu, lengkap dengan pakaian-pakaian, tempat tidur dan padi, jewawut. Mereka yang menghalang-halangi kehendak raja untuk memberikan hadiah-hadiah seperti itu, baik saudara-saudara, putera-putera raja, dan Menteri Pertama, maka mereka akan menjadi celaka karena pikiran-pikiran buruk dan akan masuk ke neraka dan tidak akan memperoleh keoksaan di dunia atau di alam lain. Ia, sebaliknya selalu berdoa dan berharap semoga keturunannya bergirang hati dengan hadiah-hadiah tersebut, memperhatikan dengan jiwa yang suci, menghormati kaum Brahmana dan taat beribadat, berbuat baik, menjalankan korban, dan mempelajari Weda. Semoga mereka menjaga kerajaan yang tidak ada bandingannya ini seperti sang Raja telah menjaganya.
Raja Gajayana mempunyai seorang puteri Uttejena yang kelak meneruskan Vamcakula ayahandanya yang bijaksana itu.
Cerita di atas diangkat sari satu prasasti yang bernama “Prasasti Dinaya atau Kanjuruhan” menurut nama desa yang disebutkan dalam piagam tersebut. Seperti tertulis di dalamnya, prasasti ini memuat unsure penanggalan dalam candrasengkala yang berbunyi : “Nayana-vaya-rase” yang bernilai 682 tahun caka atau tahun 760 setelah Masehi.
Apabila prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya kerajaan Kanjuruan di wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo terletak 5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat ini menurut penduduk disana, masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun hampir hilang terbenam ke dalam tanah.
Malangkucecwara berasal dari tiga kata, yakni : Mala yang berarti segala sesuatu yang kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil, Angkuca yang berarti menghancurkan atau membinasakan dan Icwara yang berarti Tuhan. Dengan demikian Malangkucecwara berarti “TUHAN MENGHANCURKAN YANG BATHIL”.
Walaupun nama Malang telah mendarah daging bagi penduduknya, tetapi nama tersebut masih terus merupakan tanda tanya. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas pernyataan tersebut di atas. Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti candi Jago dan candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu.
Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………”
Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti tiu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah.
Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Mengapa Malang?
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkucecwara.
Sekilas Sejarah Pemerintahan
Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.
  • Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
  • Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
  • Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
  • Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
  • 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
  • 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
  • 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
  • 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
  • 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
  • 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.