Selasa, 10 Juli 2012

PENGORBANAN


Saat semua laju kehiduan menggerus nafas

Surau kami

Maka dengan sadar dan tak sadar,

Detik berganti menit

Menit berganti jam

Jam berganti hari

Haripun tak mau kalah,

Ia pun berubah berganti minggu

Dan minggupun bosan, maka berganti bulan.

Kini saatnya datang bulan yang penuh naungan cinta kasih

Dari Sang Maha Cinta dan Kasih.

Karena cinta kasih-Nya yang tak dapat terkira

Seorang hambapun rela korbankan hawa nafsunya

Demi bermandi dalam samudra cinta itu.

Pengorbanan itu terus dan terus ia panjatkan

Walau tak sesuap nasipun mengisi perut,

Walau tak setetes airpun membasuh tenggorokan

Dan hasrat hewaniah terbelenggu kaku.

Itulah pengorbanan.......

Kala sang fajar mulai menampakkan senyumnya

Itulah saat tuk menangguhkan jasad, bagi seorang hamba

Seiring dengan meningginya hangat mentari

Keluh kesahpun terlantun tanpa sadar

Begitu pula sang mentari takkan menyerah tuk hangatkan

Bahkan hingga lelehkan kuatnya iman

Dikala siang yang terik  berdebu ini.

Kini tiba saatnya membasuh dahaga

Dan bermanja dengan warna-warni hidangan meja

Berbahagia tanpa batas,

Karena saat kemenangan telah tercapai,

Yaitu masa berbuka puasa. 

 

 

Ramadan

Ramadan

Ramadan (bahasa Arab:رمضان; transliterasi: Ramadhan) adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah (sistem penanggalan agama Islam). 
Sepanjang bulan ini pemeluk agama Islam melakukan serangkaian aktivitas keagamaan termasuk di dalamnya berpuasa, salat tarawih, peringatan turunnya Alquran, mencari malam Laylatul Qadar, memperbanyak membaca Alquran dan kemudian mengakhirinya dengan membayar zakat fitrah dan rangkaian perayaan Idul Fitri
Kekhususan bulan Ramadan ini bagi pemeluk agama Islam tergambar pada Alquran pada surat Al Baqarah ayat 185 yang artinya:
"bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."

Etimologi 

Ramadan berasal dari akar kata ر م ﺿ , yang berarti panas yang menyengat atau kekeringan, khususnya pada tanah. Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan ke sembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadan, bulan dengan panas yang menghanguskan.

Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'nya Ramadan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadan orang yang berpuasa tak lagi berdosa. Wallahu `alam.

Dari akar kata tersebut kata Ramadan digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Ramadan digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Namun kata ramadan tidak dapat disamakan artinya dengan ramadan. Ramadan dalam bahasa arab artinya orang yang sakit mata mau buta. Lebih lanjut lagi hal itu dikiaskan dengan dimanfaatkannya momen Ramadan oleh para penganut Islam yang serius untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan fisik, spiritual dan tingkah lakunya, sebagaimana panas merepresentasikan sesuatu yang dapat mencairkan materi.

Materi


Molekul DNA sebagai contoh materi yang tersusun dari atom dan molekul.

Materi adalah setiap objek atau bahan yang membutuhkan ruang, yang jumlahnya diukur oleh suatu sifat yang disebut massa.[1] Secara umum materi dapat juga didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki massa dan menempati volume[2].

Materi tersusun atas molekul-molekul, dan molekul pun tersusun atas atom-atom[3]. Materi umumnya dapat dijumpai dalam empat fase berbeda, yaitu padat, cairan, gas, dan plasma (wujud zat). Namun demikian, terdapat pula fase materi yang lain, seperti kondensat Bose-Einstein.

Senin, 09 Juli 2012

Waktu Terus Berjalan


Waktu Terus Berjalan
Al-Suyûthî dalam Târîkh al-Khulafâ` mengatakan bahwa al-Ma`mûn menasihati sebagian sahabatnya, ia berkata: “Lakukanlah kebajikan, sesungguhnya planet berputar dan waktu berlari meninggalkan orang yang berpangku tangan.”
Add caption
Menurutku ucapan al-Ma`mûn ini adalah ucapan yang cerdas dan brilian. Orang yang tidak memanfaatkan setiap kesempatan dengan berbuat baik kepada orang lain akan kehilangan banyak kebaikan. Orang yang tidak memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan kedudukan yang dimilikinya akan menyesal ketika ia tak lagi punya kedudukan. Orang yang tidak mau menolong orang lain dengan hartanya akan nelangsa ketika ia jatuh miskin. Dan orang yang tidak mau membantu orang lain dengan jabatan yang didudukinya akan bersedih hati ketika ia tidak lagi menduduki jabatan. 
Maka berlombalah dalam melakukan kebaikan, amal saleh dan menolong sesama hamba Allah sebelum waktu berlalu, keadaan berubah, hari berganti dan kesempatan hilang tak datang lagi.

Pancasila di Langit Biru


Pancasila di Langit Biru
(Islam dan Pancasila)
Ditulis pada 01/06/2012 oleh Saratri Wilonoyudho
Menurut Cak Nun, Pancasila itu hanyalah sebuah cincin kawin bagi seorang suami isteri yang bernama manusia Indonesia dan negeri yang bernama Indonesia. Sama halnya sebuah cincin kawin, maka benda ini tidak begitu penting dibandingkan ikatan lahir batin antara suami dan isteri tersebut. Cincin kawin hanyalah sebuah simbol ikatan, karenanya yang harus diperhatikan adalah sejauhmana si suami ini cinta pada isteri lahir batin dan cinta itu diwujudkan dalam sebuah “out come” yang nyata.
Sialnya saat ini kita sibuk menyembah cincin kawin tersebut dan meributkannya dalam berbagai konflik dalam bingkai “agama-sekularisme”, namun lupa mengurus ikatan suami isteri tersebut agar menghasilkan keluarga harmonis, dan berdampak bagi kesejahteraan lahir dan batin. Jelaslah tidak ada masalah antara Pancasila dan Islam.
Orang kalau sudah sampai tataran Islam yang sejati, otomatis ia adalah seorang Pancasilais, meski ia tidak pernah ikut penataran Pancasila (P4) atau masuk Lemhanas. Mengapa? Jawabnya sederhana saja, yakni karena Islam mewadahi kelima sila tersebut. Inti ajaran Islam adalah penyerahan total hanya kepada Allah SWT dalam melakukan segala tindakan ibadahnya. Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Ya jelas, Indonesia adalah Bumi Allah. Kalau kita cinta Allah berarti harus cinta pula terhadap ciptaanNya, apalagi manusia (Indonesia) sudah diperintahkan atau ditugaskan menjadi khalifatullah. Dari titik ini maka jelas duduk masalahnya bahwa Indonesia harus dirawat, disirami, dipupuk, dan dipanen untuk kesejahteraan bersama untuk menunjukkan rasa terima kasih kita kepada yang memberi tanah “bocoran surga” ini, yakni Sang Pencipta: Allah SWT.
Setiap tanggal 1 Juni, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Hanya masalahnya, yang hadir hanyalah keriuhan perdebatan, seminar, workshop, dst, yang kesemuanya dibingkai dalam kemasan politis dan tidak sampai kepada tataran perdebatan seorang khalifatullah. Para ahli, politisi, ilmuwan, dst yang berdebat tentang Pancasila belum sampai kepada tataran seorang UlinnuhaUlil AbsharUlil Albab, yang intinya mendasarkan kejernihan berpikir, kejujuran menggunakan akal, serta hati nurani yang ikhlas.
Maka yang hadir hanyalah perdebatan “kusir”, atau perdebatan politis. Mereka tidak sampai kepada pertanyaan, misalnya apakah Pancasila masih ditaati hingga kini? Dengan mengkaji secara kritis tentu kita berharap agar setiap peringatan bukan hanya seremonial belaka. Bangsa ini sudah pada titik nadir kemunduran karena ideologi pembangunan tidak jelas.
Tulisan ini mencoba memperkenalkan istilah radikalisasi Pancasila agar ideologi ini menjadi sakti mandraguna. Istilah “Radikalisasi Pancasila” pernah diucapkan almarhum Prof.Dr.Kuntowijoyo, karena beliau sangat resah akibat Pancasila hanya dijadikan lip service, bahkan menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Hasilnya, Pancasila “tidak operasional”, sehingga bangsa Indonesia kehilangan arah. Pancasila memang “jimat sakti”, namun jimat itu hanya disarungkan di pinggang dan tak pernah digunakan untuk “berkelahi” terhadap korupsi, apalagi dijadikan sebagai ideologi yang mengarahkan pembangunan nasional.
Karenanya, jika Pancasila ingin tetap “sakti”, maka harus ada “radikalisasi”. Istilah ini kata Kuntowijoyo menunjuk kepada upaya untuk “mengaktifkan” sila-sila dalam Pancasila agar “operasional”, untuk menjadi dasar negara, pedoman, filsafat, serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa, terutama para elite politik.
Beberapa tahapan radikalisasi diantaranya, jadikan Pancasila benar-benar sebagai : 1). Ideologi negara; 2). Salah satu sumber ilmu; 3). Laksanakan Pancasila secara konsisten, koheren, dan koresponden; 4). Jadikan Pancasila sebagai pelayan horizontal dan bukan vertikal; dan 5). Jadikan Pancasila sebagai kriteria kritik kebijakan negara.
Tentu saja tidak cukup ruang ini untuk menguraikan satu-persatu hal tersebut. Karenanya akan diambil satu hal yang penting, yakni bagaimana Pancasila mampu dijadikan ideologi yang “operasional” untuk menuntun etika dan moralitas para politikus dan penyelenggara negara?
Mengapa hanya mereka yang dituntut? Sederhana saja, kalau rakyat tidak mungkin akan mengkhianati negara, karena rakyat adalah pihak yang memberi amanah kepada mereka untuk menyelenggarakan negara. Rakyat tidak memiliki kekuasaan, karena rakyat menyerahkan kedaulatan kekuasaan kepada wakilnya dan memberi amanah kepada penyelenggara negara.
Karenanya pihak yang paling bertanggungjawab terhadap hancurnya negara adalah para politikus dan penyelenggara negara. Indikatornya jelas, negeri ini telah tergadai. Korupsi sudah menggurita dan bukan lagi sekadar kasus. Kesejahteraan rakyat terus merosot. Lihat saja survai dari World Economic Forum, CIA World Factbook, dan Transparency International(2011), Indeks Pembangunan Manusia kita hanya peringkat 108 dari 178 negara yang disurvai.
Indeks pembangunan pendidikan hanya peringkat 65 dari 128 negara yang disurvai, pengangguran peringkat 75 dari 237 negara yang disurvai, infrastruktur 82 (dari 139 negara), indeks daya saing 44 (139 negara), kesehatan dan pendidikan dasar 62 (dari 139 negara), dan yang menyedihkan, indeks persepsi korupsi 110 dari 178 negara yang disurvai.
Dalam Pancasila ada sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, misalnya. Jika sila ini dipegang dan dijadikan dasar etika moral politikus dan penyelenggara negara, maka korupsi tidak akan ada.
Pemerintah yang memiliki jiwa keadilan sosial, pasti tidak akan korupsi, karena korupsi menimbulkan ketidakadilan, kemiskinan, dan kebangkrutan negara. Dengan bertindak koruptif, berati juga tidak mengamalkan sila ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan.
Dalam perspektif Ricoeur (1990), etika politik itu mengandung tiga tuntutan, yakni : 1). Upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; 2). Upaya memperluas lingkup kebebasan; dan 3). Membangun institusi-institusi yang adil. Jelas pula Pancasila tidak kalah dengan pandangan Ricoeur ini, karena ketiga etika tersebut sudah termuat dalam sila-sila pancasila.
Bahkan etika politik yang didasarkan Pancasila, tidak hanya menyangkut etika individu para politikus dan penyelenggara negara, namun etika ini juga menyangkut tindakan kolektif. Untuk menunju etika kolektif sudah pasti dibutuhkan pandangan dan aspirasi dari berbagai pihak. Ini artinya demokratisasi akan berjalan baik jika didasarkan atas Pancasila.
Radikalisasi Pancasila juga akan membawa arah pembangunan nasional, karena pada dasarnya tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah termaktub di dalam Pembukaan UUD 45 yang merupakan penjabaran dari roh Pancasila.
Radikalisasi Pancasila akan semakin operasional jika diterapkan dalam membangun institusi-institusi sosial. Harus dipahami, korupsi merajalela karena institusi-institusi sosial kita rusak parah. Institusi sosial (misalnya birokrasi) mendefinisikan hak dan kewajiban setiap warga negara. Jika institusi sosial tidak sehat, maka ia akan menjadi sumber “keberuntungan” bagi pihak lain (baca : penguasa, birokrat, politikus, pengusaha, dst), dan kemalangan bagi pihak lain (baca: rakyat).
Pembangunan institusi sosial akan berjalan baik jika ada visi dan bukan hanya strategi saja. Meski terkesan “abstrak”, visi atau ideologi perlu ditanamkan dalam benak penyelenggara negara karena akan menuntun arah dan kebijakan mereka. Visi dan ideologi bagai mercusuar moral. Kapal yang berjalan tanpa dipandu mercusuar, akan menabrak karang dan kandas.
Demikian pula “kapal” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, radikalisasi Pancasila menjadi tuntutan yang tidak mungkin diabaikan jika ingin agar arah kapal kita tetap kepada tujuannya dan tidak karam di tengah lautan luas.
Jika Pancasila dikebiri, ia hanya ada di langit biru, hanya di awang-awang, alias tidak dilaksanakan sebagai ideologi negara. Sialnya, jangankan Pancasila, Allah dan Rasulullah saja dinomorduakan.

Kata-kata yang Memikat

Kata-kata yang indah bagaikan sihir yang memikat hati, mempengaruhi tatanan jiwa, mengubah bentuk, kejadian, sesuatu dan keadaan. Ceramah dengan kata-kata yang indah mengubah pengecut menjadi pemberani, melenturkan orang yang keras kepala, menghentikan kesedihan orang yang tertimpa musibah, membuat orang yang bakhil menjadi murah hati dan mendorong penakut maju ke depan pantang mundur.Sihir (daya pikat) sebuah ceramah ditentukan oleh ketinggian nilainya (bobotnya), kedalaman maknanya, efektivitasnya, keragaman maknanya, serta kemampuannya menyentuh hati dan perasaan pendengarnya.Sihir sebuah ceramah juga ditentukan oleh cara penyampaiannya, daya tariknya, serta keindahan dan kelugasan kata-katanya. Kata-kata yang “bertuah” sanggup menciptakan banyak keajaiban, melahirkan banyak kejadian dan mendesain banyak peristiwa.Dikisahkan bahwa George Washington, presiden Amerika Serikat pertama, mengutus seorang laki-laki ke Texas, negara bagian yang memberontak kepadanya dan menolak menjadi bagian dari Amerika Serikat. Laki-laki utusan George Washington itu bernama Houston, yang namanya dijadikan nama sebuah kota di sana (Texas). George Washington mengutus Houston seorang diri tanpa pengawalan angkatan bersenjata. Houston hanya berbekalkan lidah yang tajam, fasih, lantang, tegas, lugas dan cerdas. Houston masuk ke Texas sebagai orang miskin dan sebatangkara. Kemudian ia mendirikan lembaga konsultasi hukum. Di tangannya orang yang mengaku teraniaya berubah menjadi penganiaya, penganiaya menjadi teraniaya, pencuri menjadi bebas dan orang bebas dihukum sebagai pencuri. Ia berhasil meraih simpati mayoritas penduduk Texas dan sedikit sekali yang antipati. Dengan kepiawaian dan kecerdasannya mengolah kata, akhirnya Texas mau bergabung bersama negara-negara bagian lainnya di bawah bendera Amerika Serikat.Al-Ahnaf bin Qais, tubuhnya memang kecil, fisiknya boleh lemah, penampilannya mungkin kurang sedap dipandang. Tapi ketika bicara, ia sanggup menyita perhatian, mampu menjadikan semua pasang mata tertuju ke arahnya, semua pasang telinga mendengarkan kata-katanya, dan semua hati dikuasainya. Itulah pengaruh kata-kata yang indah dan memikat.Sebagian dari penceramah ada yang ceramahnya seperti angin topan yang menerjang. Saat bicara tampak seperti marah, geram, meluap-luap, berapi-api. Bahasa tubuhnya seakan bicara: Jangan hentikan aku!” Pedang kefasihannya yang tajam membabat habis jaring-jaring kebatilan, argumen dan dalil yang meluncur dari mulutnya memutuskan semua simpul keraguan. Ketika itu dialah satu-satunya penguasa keadaan, satu-satunya guru dan rujukan, dan satu-satunya pemilik tempat di mana ia bicara.Ceramah meniscayakan keberanian yang benar, maju tak gentar, tak mengenal kata mundur atau berhenti, menghadapi khalayak tanpa rasa takut, cemas atau malu.Ceramah mengharuskan hadirnya apa yang ingin disampaikan sebelum mengatakannya, menuntut terpenuhinya benak dengan tema-tema yang hendak diutarakan, dan memerlukan persediaan yang cukup untuk menjamin mengalirnya pembicaraan. Ketika semua prasyarat itu dimiliki oleh seorang penceramah maka ceramahnya akan lancar, lantang dan penuh percaya diri, sebab materinya telah ia kuasai, jalan pikirannya telah terpetakan dengan matang, dan mentalnya telah siap untuk menghadapi ribuan massa.Awal kegagalan seorang penceramah adalah ketidaksiapan materi dan kekosongan bahan pembicaraan dalam pikirannya. Ia mengira bahwa materi, tema, ide dan bahan pembicaraan akan muncul dengan sendirinya begitu ia berdiri di depan publik. Anggapan seperti ini sama sekali tidak benar.
وَلَوْ أَرَادُواْ الْخُرُوجَ لأَعَدُّواْ لَهُ عُدَّةً

 Artinya:Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu.

3 KEBIASAAN PRIA


3 KEBIASAAN PRIA YANG DIRAHASIAKAN DARI WANITA

Banyak hal yang disembunyikan pria pada wanita, salah satunya adalah kebiasaan mereka. Walaupun bukan hal yang buruk, mereka memilih untuk tidak menceritakan tiga kebiasaan ini pada Anda. Simak tiga kebiasaan pria yang disembunyikan dari wanita, seperti yang dikutip dari Times of India.

1. Pria sering lakukan masturbasi
Seks sepertinya tidak bisa dipisahkan dari pria. Walau tidak setiap hari, tapi kebanyakan waktu pria dihabiskan untuk memikirkan atau bahkan melakukan hal tersebut. Menurut sebuah penelitian, berpikir mengenai seks atau melakukan masturbasi merupakan cara alami pria untuk merasakan kenyamanan serta ketenangan.

Tak perlu kaget, tapi hal ini biasanya dilakukan oleh pria saat bangun tidur atau sambil menonton televisi. Mungkin hal ini sedikit tidak masuk akal bagi wanita, namun inilah rutinitas alami pria. Mereka biasanya menyembunyikan hal ini karena malu.

2. Pria mencari tahu tentang Anda lewat google atau facebook
Hampir semua pria mencari tahu tentang diri Anda melalui situs sosial. Sudah menjadi naluri pria untuk selalu mengendalikan situasi. Oleh karena itu, mereka ingin mengetahui apa yang Anda suka dan tidak agar saat bertemu, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Tapi mereka tidak akan membiarkan Anda tahu karena takut wanita menganggapnya aneh.

3. Pria juga mengalami 'bad hair day'
Sama seperti halnya wanita yang mengalami 'bad hair day', pria pun juga mengalami hari saat tubuh mereka tidak dalam tampilan terbaiknya. Ada suatu hari, pria merasa bahwa apapun yang mereka kenakan tidak terlihat baik. Tidak jarang mereka mengeluhkan perut besar atau rambut yang yang sulit diatur. Namun mengatakan kekurangannya kepada Anda, sama sekali bukan pilihan bagi mereka. 

Sedang TUHAN pun berpuisi




Puncak ilmu adalah filsafat, dan puncak seni adalah puisi. Begitu kira-kira pandangan banyak orang. Orang yang tidak bisa menikmati puisi boleh dibilang tidak “lengkap” sebagai manusia. Orang yang tidak dapat menikmati puisi tampaknya akan sulit disentuh hatinya. Padahal hati ini adalah salah tiga alat kelengkapan diri selain akal dan syahwat. Tidak semua persoalan hidup dapat dipecahkan lewat akal dan rasionalitas, karena tubuh seseorang terdiri atas jasmani dan rohani.Jangankan “makanan” rohani, sedangkan untuk kebutuhan jasmaniah saja tidak setiap orang memiliki kecerdasan yang sama dalam memilih makanan yang sehat dan enak, serta dalam takaran yang pas. Ada orang yang tidak peduli kalau tiap hari nekad memakan daging babi, atau makan jerohan — misalnya — karena ia berpandangan: “hidup itu sekali, maka harus dinikmati”.Demikian rohani harus diberi “gizi” yang memadai agar keseimbangan hidup itu terjaga. Puisi adalah salah satu makanan rohani yang berdampak terhadap kesehatan jasmani. Hanya orang yang sudah sublim dan memiliki endapan rohani tertentu yang sanggup membuat puisi dengan “takaran” tertentu yang (juga) dapat menggugah kesadaran rohani seseorang. Karena puisi dibuat dengan takaran rohani tertentu, maka hanya orang yang sudah siap rohaninya saja yang dapat disentuh hatinya.Saya sering iseng-iseng mengamati, seorang pemimpin atau pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, tampaknya ia akan sulit mengekspresikan jiwa kepemimpinannya, sekalipun ia cerdas secara keilmuan dunia. Ia akan sulit menggetarkan pengikut atau rakyatnya untuk diajak membangun daerahnya — misalnya.Seorang pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, juga akan “wagu”, tidak saja ketika berpidato, tapi juga “wagu” produk-produk kebijakannya. Ia bagai robot yang cerdas, namun tidak memiliki hati, sehingga tidak indah dipandang. Melalui puisi tampaknya akan lebih mudah menyentuh hati ini, karena makanan hati bukannya rasionalitas, namun kelembutan dan keindahan. Puisi adalah sublimasi dari keindahan. Sekasar apapun watak seseorang, jika ia sudah tersentuh hatinya maka ia akan takluk, bahkan menangis.Karenanya, Allah SWT lebih suka memperkenalkan watak-Nya dengan bahasa keindahan. Lihat dan bacalah maka akan jelas bahwa firman-Nya juga “dikemas” dalam bentuk puisi. Al Quran adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga gabungan dengan baik dan benar. Mengapa Allah harus berpuisi? Jawabnya barangkali Allah akan bertindak “konsekuen” setelah menciptakan unsur manusia yang terdiri jasmani dan rohani, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah mengajari bahwa untuk mengajak kepada kebaikan harus melalui keindahan. Barang yang baik, jika tidak disampaikan demgan keindahan, maka tidak akan menyentuh hati. Sebaliknya barang yang indah jika tidak disampaikan dengan baik dan benar maka itu tidak akan sampai kepada tujuannya.Perdebatan apakah seni hanya untuk seni atau seni untuk kemaslahatan seperti ini tampaknya sudah lama terjadi, misalnya dilakukan oleh para sastrawan Pujangga Baru yang dimotori oleh Sutan Takdir Alsjahbana. Tentunya perdebatan ini tidak akan terjadi jika mereka “berguru” kepada Allah.Karena orang umumnya tidak melakukan itu maka yang muncul adalah kontradiksi-kontradiksi. Kleden (1986) misalnya pernah mengungkapkan bahwa masalah kebudayaan (juga kesenian) dihayati dengan cita rasa yang berbeda oleh mereka yang memiliki kepentingan.Tentu perbedaan pandangan dipengaruhi oleh beberapa hal, selain aksentuasi dan variasi, juga lebih jauh melibatkan perbedaan logika, baik menyangkut kerangka konseptual maupun yang menyangkut dengan minat masing-masing. Karenanya kita dapat memahami jika kata kunci seorang seniman dalam memahami kebudayaan (kesenian) adalah: daya cipta.Ini berarti bagi seorang seniman, kebudayaan adalah sebuah kata kerja. Mereka adalah orang-orang yang resah yang ingin mengepakkan sayap imajinasinya untuk diekspresikan dalam sebuah karya seni. Para seniman bekerja secara bebas dan tidak terkekang oleh konvensi ilmiah yang kaku, seperti halnya para ilmuwan dengan kerja desain yang rumit.Kembali kepada rumus: baik, indah, dan benar, maka kita dapat memahami jika — misalnya — seorang Rendra harus dibenci penguasa “hanya” karena ia berkesenian? Kebencian ini muncul karena meski karya Rendra indah, namun menurut penguasa tidak disampaikan dengan cara yang “baik” dan “benar”. Baik dan benar bagi penguasa adalah bahwa berkesenian itu harus reasonable (dan karenanya tidak menimbulkan kontradiksi) serta acceptable (dan karenanya tidak menimbulkan resistensi, apalagi oposisi). Dengan kata lain, legitimasi politik penting artinya bagi penguasa untuk dikawinkan dengan legitimasi budaya.Karena dapat dipahami jika kata kunci penguasa adalah kata-kata “warisan budaya”. Dalam kacamata politik, penguasa akan selalu mendesain kebudayaan ke dalam kerangka politiknya. Lihat saja berbagai pelarangan karya sastra telah menelan korban, baik terbelenggunya kebebasan bahkan sampai nyawa sang seniman, jika berhadapan dengan penguasa otoriter. Pada masa lalu untuk sekadar mementaskan sebuah drama, urusannya bisa sangat panjang. Perizinan mulai dari tingkat RT sampai kantor polisi dan badan-badan sensor lainnya.Dalam pandangan Rendra, persoalannya adalah bagaimana konflik (antara penguasa dan seniman) itu ditransformasikan menjadi kompetisi dan bukan antagonisme. Konflik mestinya diterjemahkan menjadi diplomasi dan bukan memaklumkan “perang”. Artinya jauh lebih efektif membuktikan rendahnya mutu sebuah karya sastra dengan sebuah perdebatan “ilmiah” daripada harus melarangnya dengan kekuatan politik yang sarat dengan kekerasan.Bagi seniman karya sastra bukan saja merupakan media untuk mengekspresikan keindahan, namun juga merupakan media untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan nasib rakyat. Untuk sampai ke tataran ini memang ada mekanisme panjang kata Cak Nun (Baca : Indonesia bagian Penting dari Desa Saya, 1983). Pertama mekanisme penciptaan karya sastra, kedua mekanisme pergaulan antara karya sastra yang dihasilkan tersebut dengan masyarakat dan ketiga pergaulan antara seniman dengan masyarakat (termasuk penguasa).Dalam bahasa lain dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia berbudaya mencakup tiga ruang lingkup, yakni : lingkup lingkungan material (lingkungan buatan manusia), lingkup lingkungan sosial (organisasi sosial, birokrasi, kekuasaan, gaya hidup, dst), serta lingkup simbolik (makna, kata, tingkah laku, bahasa,dst). Idealnya antara lingkungan material dan simbolik (kultur), harus sinergi dengan lingkungan masyarakat (kultur).Soal seni yang disampaikan dengan mengabaikan salah satu unsur: indah, baik dan benar, juga terjadi pada misalnya kisah seorang “seniman” jalanan di Kota Solo yang bernama Maryanto. Ia adalah seorang pemain “jaran dor” (kuda lumping) yang sempat diadili karena dianggap mengekploitasi anak di bawah umur untuk bekerja. Maryanto, baru berusia 27 tahun, dan ia mengajak anak usia 10 tahun untuk “ngamen” (bahasa kerennya mengekspresikan seni) sebagai pemain “kuda lumping”, guna mencari sesuap nasi.Sehari-hari ia hanya mendapatkan uang sekadar untuk makan. Karenanya, sebagai orang yang buta hukum, Maryanto tidak paham apa artinya mengeksploitasi anak di bawah umur untuk membantu bekerja. Maryanto barangkali juga tidak berpikir jauh, misalnya mengapa orang tua Baim, tokoh sinetron anak-anak, tidak pernah diusik oleh pengadilan. Padahal kata orang tuanya, Baim yang masih berusia di bawah lima tahun, sering shooting sampai larut malam.Demikian pula penyanyi-penyanyi cilik semacam Joshua, Trio Kwek-kwek, Pildacil, dst, juga tidak pernah tersentuh oleh aturan hukum seperti yang dialami Maryanto. Apakah bedanya antara Maryanto dengan orang tua Baim misalnya? Sepenggal kisah tersebut cukup menggambarkan sebuah konflik yang tidak dihayati dalam cita rasa yang sama diantara para pelaku kesenian dan kekuasaan.Sekali lagi mengapa mereka tidak mau berguru kepada Tuhan? Kurang apa kekuasaan Allah? Mengapa Allah tidak otoriter saja, dan mengapa harus berfirman dengan nada puitis? Mengapa tidak saja langsung mengancam: “aku larang keras manusia berzina”, tapi mengapa harus dengan nada mesra “jangan dekati zina”, misalnya? Bukankah Allah memiliki kebebasan mutlak untuk memerintahkan apa saja? Bukankah Allah juga bisa otoriter sehingga yang tidak taat langsung saja dihukum di dunia? Sekali lagi Allah tidak melakukan-Nya. Allah memilih untuk bermesra-mesraan dengan makhluk ciptaan-Nya, dengan jalan “berpuisi-ria” dengan segala firman-Nya.Allah sangat “paham” berapa “takaran” yang pas, dimana ayat-ayat itu diturunkan. Allah juga paham bagaimana bentuk kemesraan-Nya jika berhadapan dengan model watak kaum tertentu. Allah juga sangat paham kapan dan di mana ayat-ayat diturunkan, sehingga ayat-ayat itu harus bernada puitis dan pendek, serta di lain pihak juga sangat tahu kapan kemesraaan-Nya harus disampaikan dengan nada-nada “ancaman”, misalnya?Kalau Allah saja “maha seniman”, mengapa manusia tidak meniru ajaran-Nya ini? Mengapa dalam memanajemen negara (misalnya), malahan amburadul, sudah caranya disampaikan tidak saja buruk, namun juga tidak benar plus tidak indah.Betapa meruginya manusia yang tidak bisa mengekspresikan kekhalifahannya dalam takaran keseimbangan: baik, benar, dan indah, serta tidak tahu bagaimana kapan harus menggunakan akal, kapan harus hati, dan kapan memadukan keduanya untuk menekan syahwatnya (baca: nafsu dalam berbagai bidang kehidupan).